Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)
Hukum meminta izin disyari’atkan pada awal tahun kelima dengan turunnya satu ayat khusus mengenai masalah ini.[1] Allah berfirman di dalam kitab-Nya mengenai urgennya suatu perintah meminta izin untuk memasuki rumah yang bukan menjadi hak bagi kita.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, Maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: “Kembali (saja)lah, Maka hendaklah kamu kembali. itu bersih bagimu dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan.”[2]
Hukum ini merupakan suatu adab yang syar’i yang Allah ajarkan kepada hamba-Nya yang beriman. Allah memerintahkan kepada mereka agar tidak masuk ke dalam rumah yang bukan milik mereka sehingga meminta izin terlebih dahulu (kepada penghuninya-pengarang) dan salam setelahnya. Dan sesungguhnya salam dengan meminta izin itu sebagai tanda bahwa tidaklah beriman orang yang tidak mengucapkan salam.[3] Dan telah jelas berdasarkan hadits dari Bukhori di dalam “Adabul Mufrod” dan begitu juga Abu Dawud dan Tirmidzi dari Hadits Tsauban dan dia memarfu’kannya, “Tidaklah halal seorang muslim melihat ke dalam rumah seseorang sampai dia meminta izin, maka jika dia telah berbuat demikian dia terhukumi dengan orang yang telah masuk.”[4] Dan Imam Bukhori juga meriwayatkan dari Umar, “Barang siapa yang matanya melihat ke dalam ruangan suatu rumah maka dia telah berbuat kefasikan.”[5]
Dan sesungguhnya di dalam hukum ini terdapat banyak mafasid (suatu hal yang rawan). Diantaranya adalah yang disebutkan Nabi dia bersabda,
إنما جعل الاستئذان من أجل البصر
Artinya: “Sesungguhnya hukum meminta izin itu hanyalah dijadikan untuk menjaga pandangan mata.”
Maka sebab larangan tersebut adalah karena pandangan manusia itu tertuju pada aurat (kejelekan) yang berada di dalam suatu rumah, karena sesungguhnya, rumah bagi manusia adalah penutup bagi kejelekan yang ada di dalamnya. Sebagaimana pakaian yang menutupi aurat tubuh manusia.[6]
Dari Ibnu Abbas bahwa dia berkata (حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا) adalah kesalahan penulis, dan beliau membacanya dengan ((حَتَّى تَسْتَأْذتُوا dan bacaan ini adalah bacaan menurut Ubay bin Ka’ab.[7]
Dari Ibnu Mas’ud dia berkata, “Hendaklah kalian meminta izin kepada ibu dan saudara perempuan kalian!, berkata Uday bin Tsabit, ada seorang perempuan dari kalangan Anshor, dia berkata, “Hai Rasulullah! Sesungguhnya aku berada di rumah dalam keadaan yang aku tidak suka jika ada orang yang melihatku dalam keadaan seperti ini, tidak pula anak dan juga orang tua. Dan bahwasanya orang dari keluargaku masih saja masuk (ke dalam) dan aku masih dalam keadaan demikian? Dia mengatakan, kemudian turunlah ayat ini
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا
Dan yang lain mengatakan bahwa makna ayat itu adalah, “Sampai kalian meminta izin kepada penghuni rumah, sehingga mereka mengetahui apabila kalian hendak memasuki rumah mereka.”[8]
Maka seyogyanya dia meminta izin sebanyak tiga kali. Jika dia diberi izin maka ia boleh masuk dan sebaliknya apabila tidak diberi izin maka pergilah.[9] Hal ini sebagaimana dalam hadits Abu Musa dia mengatakan bahwa dia mendengar Rasulullah bersabda,
إذا استأذن أحدكم ثلاثاً فلم يؤذن له فلينصرف
Artinya: “Jika salah satu diantara kalian sudah meminta izin sebanyak tiga kali namun tidak diberi izin, maka kembalilah.”[10]
Ibnu Abdil Baar berkata, “Para Ahlu Ilmi berpendapat bahwa tidak diperbolehkan meminta izin sebanyak tiga kali. Dan sebagian lain mengatakan tidak mengapa apabila tidak terdengar. Dan ini adalah yang paling benar di kalangan Syafi’iyah. Dan pendapat lain mengatakan, boleh secara mutlak karenanya permasalahan ini menunjukkan keringanan dan dibolehkan bagi orang yang meminta izin, maka bagi siapa yang banyak mengulang dalam meminta izin tidaklah mengapa.”[11]
Dan permasalahan tentang hikmah diulanginya izin sebanyak tiga kali diperselisihkan, maka Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari perkataan Ali, ‘Yang pertama adalah pemberitahuan, yang kedua keinginan (untuk masuk ke dalam rumah) dan yang ketiga keinginan baik nanti diberikan izin ataupun tidak.”
Dan pendapat yang benar menurutku[12] adalah hendaknya dikatakan bahwa Al-Isti’nas adalah meminta izin kepada tuan rumah jika hendak masuk ke dalam (rumah) mereka. Dengan seperti ini agar kita tahu siapa yang ada di dalamnya dan apakah di dalam rumah itu ada orang atau tidak? Dan hendaknya dengan izinnya kepada mereka, mereka juga memberi izin kepada kita.
Pentakwilan dari ayat di atas adalah sebagai berikut, “Hendaknya di antara kalian mengucapkan السلام عليكم، أأدخل؟ salam lalu berkata, “Bolehkah saya masuk?. Pada dasarnya makna ini adalah makna awal yang diakhirkan. Yaitu حتى تسّلموا وتستأذنوا yang demikian sebagaimana disebutkan Ibnu Abbas dalam menginterpretasikan ayat ini.
Rumah Yang Boleh Dimasuki Tanpa Izin Terlebih Dahulu
Dan tidaklah berdosa apabila masuk ke dalam rumah yang tidak berpenghuni tanpa dengan izin. Kemudian para ulama’ berselisih tentang rumah yang bagaimanakah yang tidak berpenghuni itu? Maka sebagian di antara mereka mengatakan bahwa, “Rumah yang tidak berpenghuni itu adalah toko-toko dan rumah-rumah yang berada di tepi jalan yang tidak dikenal dan tidak jelas siapa yang menempatinya. Dan bangunan itu dibangun bagi orang yang lewat pada jalan itu untuk mereka singgahi dan untuk meletakkan barang-barang mereka di dalamnya.”[13]
Dan Ikrimah dan Hasan al-Basri meriwayatkan dari Ibnu Juraij dia berkata, Abdullah bin Abbas berkata, bahwa ayat yang pertama (لا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ) telah dimansukh dengan ayat
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ مَسْكُونَةٍ فِيهَا مَتَاعٌ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا تَكْتُمُونَ
Sementara, ulama lain mengatakan, “Maksudnya adalah jualan (toko) para pedagang seperti; kedai, losmen untuk kaum musafir, rumah-rumah di Makkah dan lain sebagainya. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir dan beliau menukilnya dari sejumlah ulama. Pendapat pertama lebih tepat, yaitu intinya bolehnya masuk ke dalam rumah yang tidak didiami oleh seorangpun dan ia ada keperluan tanpa harus meminta izin. Seperti rumah yang disediakan untuk para tamu, jika di awal ia telah diberi izin, maka cukuplah baginya.[14]
Apakah Izin Jika Ingin Masuk Ke Dalam Kamar Istri?
عن الزهرى سمعت هزيل بن شرحبيل الأودى الأعمى أنه ابن مسعود يقول : عليكم الإذن على أمهاتكم وقال ابن جريج قلت لعطاء : أيستأذن الرجل على امرأة قال : لا وهذا محمول على عدم الوجوب و إلّا فالأولى أن يعلمها بدخوله ولا يفاجئها به لاحتمال أن تكون على هيئة لا تحب أن يراها عليها.
Ibnu Juraij berkata dari az-Zuhri, Saya mendengar Huzail bin Syarkhabil al-Audy al-A’ma bahwa dia mendengar Ibnu Mas’ud dia mengatakan, wajib atas kalian untuk izin kepada ibu kalian, Ibnu Juraij berkata, saya berkata kepada Atha’, “Apakah seorang itu harus meminta izin kepada istrinya? Dia mengatakan, tidak. Ini terkandung bahwa tidak adanya suatu kewajiban. Dan jika tidak demikian, maka yang lebih utama adalah hendaknya dia memberi tahu tentang masuknya dia ke dalam. Dan tidak boleh menggertaknya karena tidak menutup kemungkinan pada saat itu dia dalam posisi yang dia tidak suka apabila terlihat seperti itu.
Abu Ja’far bin Jarir meriwayatkan dari keponakan Zainab istri Abdullah bin Mas’ud dari Zainab ia berkata, ‘Apabila Abdullah pulang dari suatu keperluan lalu sampai di depan pintu, beliau berdehem dan meludah. Beliau tidak suka masuk menemui kami dalam keadaan yang tidak beliau sukai.[15]
Apakah Orang Yang Diundang Ke Suatu Rumah Harus Meminta Izin?
وَقَدْ أَخْرَجَهُ الْمُصَنِّف فِي ” الْأَدَب الْمُفْرَد ” وَأَبُو دَاوُدَ مِنْ طَرِيق عَبْد الْأَعْلَى بْن عَبْد الْأَعْلَى عَنْ سَعِيد بْن أَبِي عَرُوبَة وَأَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ مِنْ طَرِيق عَبْد الْوَهَّاب بْن عَطَاء عَنْ اِبْن أَبِي عَرُوبَة ، وَلَفْظ الْبُخَارِيّ ” إِذَا دُعِيَ أَحَدكُمْ فَجَاءَ مَعَ الرَّسُول فَهُوَ إِذْنه ”
Imam Bukhori mengeluarkan di dalam “Adab Al mufrod” dan Abu Dawud dari jalan Abdil A’la bin Abdil A’la dari Sa’id bin Abi Arubah dan Imam Baihaqi meriwayatkan dari jalan Abdul Wahab bin Atha’ bin Ibnu Abi Arubah, dan lafadz Bukhori adalah, “Apabila salah seorang di antara kamu diundang dan datang kepadamu utusan maka itulah sebagai izinnya“[16]
Etika Meminta Izin
كان رسول الله r إذا أتى باب قوم لم يستقبل الباب من تلقاء وجهه ولكن من ركنه الأيمن أو الأيسر ويقول السلام عليكم السلام عليكم
Artinya: “Apabila Rasulullah mendatangi rumah orang, beliau tidak menghadap ke depan pintu akan tetapi di samping kanan atau kiri. Kemudian beliau mengucapkan Assalamu’alaikum warahmatullah!” Karena pada saat itu rumah-rumah belum dilengkapi dengan tirai.
Diriwayatkan[19] dari Rasulullah bahwa beliau bersabda,
لو أنّ امرء اطلع عليك بغير إذن فخذ فته بحصاة ففقأت عينه ما كان عليك من جناح
Artinya: “Sekiranya ada seseorang yang mengintip rumahmu tanpa izin, lalu engkau melemparnya dengan batu hingga tercukil matanya, maka tiada dosa atasmu.
Artinya: “Dan jika dikatakan kepadamu: “Kembali (saja)lah, Maka hendaklah kamu kembali. itu bersih bagimu”[21]
إذا استأذن أحدكم ثلاثاً فلم يؤذن له فلينصرف
Artinya: “Jika salah satu diantara kalian sudah meminta izin sebanyak tiga kali namun tidak diberi izin, maka kembalilah.”[22]
Referensi
[1] Tarikh Tasyri‘hal 160, di dalam kitab ini ayat isti’dzan dan hijab adalah sama. Yaitu surat Al Ahzab : 53
[2] An Nuur : 27-29
[3] Fatkhul Bari 17/443
[4] Ibid 17/465
[5] Ibid
[6] Tafsir Tasiril Karim Ar-Rohman hal 576
[7] Tafsir At Thobari 19/145
[8] Ibid
[9] Tafsir Ibnu Katsir 3/37
[10] H.R Bukhori Muslim
[11] Fatkhul Bari 17/472
[12] Maksudnya Imam At-Thobari
[13] At Thobari 19/151
[14] Tafsir Ibnu Katsir 3/373
[15] Tafsir Ibnu Katsir 3/
[16] Fatkhul Bari 17/473
[17] H.R Muttafaq ‘alaih di dalam Al-Adab Al-Mufrod dan dishohihkan oleh Al-AlBani
[18] Etika seorang Muslim hal 35
[19] Di dalam kitab As-Shohihain
[20] Tafsir Ibnu Katsir 3/373
[21] An-Nur : 28
[22] H.R Bukhori Muslim
[23] Tafsir Ibnu Katsir 3/373
Tinggalkan Komentar