SEKILAS INFO
: - Kamis, 12-12-2024
  • 4 bulan yang lalu / Pengambilan Sanad Al Qur’an Qira’ah Imam Ibnu katsir (Riwayat Al Bazzi & Qunbul) Online bersama Ust Khoirul H. Faturrozy, info hub. 089667586200  
  • 11 bulan yang lalu / Bingung pilih pondok Tahfidz atau pondok IT ? di Darul Fithrah kamu bisa dapat keduanya. Lebih Efektif & Efisien
  • 1 tahun yang lalu / Penerimaan Santri Baru ponpes Darul Fithrah resmi di buka
Maqashid Syariah Zakat | Part II

 

Pendahuluan

Kemiskinan merupakan persoalan klasik yang telah ada sejak umat manusia ada. Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang selalu dihadapi oleh manusia. Problem kemiskinan dan implikasi permasalahannya dapat melibatkan semua aspek kehidupan manusia.

Pada bulan Februari 1999, sebanyak 47,97 juta jiwa tergolong miskin, mewakili 23,43% populasi nasional. Namun, jumlah ini harus memperhitungkan pelemahan rupiah pada krisis finansial Asia. Pada bulan Juli 2005, jumlah tersebut berkurang menjadi 35,10 juta, mewakili 15,97% dari populasi keseluruhan. Jumlah terbaru pada bulan Maret 2007, menunjukkan bahwa 37,17 juta jiwa berada di bawah garis kemiskinan mewakili 16,58% dari populasi keseluruhan.[1]

Berdasarkan laporan dari Bank Pembangunan Asia (ADB), penduduk nasional Indonesia pada tahun 2015 berjumlah 255,46 juta jiwa, 11,2% di antaranya hidup di bawah garis kemiskinan nasional.[2]

Sebenarnya, kemiskinan akan dapat diminimalisir apabila ada distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata, ada upaya-upaya orang kaya yang selalu memperhatikan orang-orang miskin, dan orang-orang kaya yang memiliki kepedualian sosial yang tinggi terhadap masyarakat miskin. Akan tetapi, persoalan yang nampak saat ini adalah jelas terlihat adanya kesenjangan, baik kesenjangan sosial maupun ekonomi antara orang kaya dan miskin.[3]

Islam adalah agama yang paripurna. Islam adalah sebuah sistem yang mengatur segala aspek kehidupan. Mulai dari urusan yang kecil; buang air, meludah, dan lain sebagainya, Islam telah mengaturnya. Juga ritual peribadatan, bagaimana akhlak manusia terhadap sesamanya, bahkan dalam urusan yang besar, yaitu kenegaraan pun Islam telah mengaturnya. Tak terkecuali dalam urusan kehidupan sosial dan ekonomi, makai Islam telah menurunkan perintah untuk berzakat.

Jika zakat dikelola dengan optimal, tak menutup kemungkinan masalah kemiskinan akan terselesaikan. Hal itu dikarenakan zakat adalah sumber dana yang tidak akan pernah kering dan habis. Dengan kata lain selama umat Islam memiliki kesadaran untuk berzakat dan selama dana zakat tersebut mampu dikelola dengan baik, maka dana zakat akan selalu ada serta bermanfaat untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Sehubungan dengan hal itu, maka zakat dapat berfungsi sebagai salah satu sumber dana sosial ekonomi bagi umat Islam.[4]

Sejarah telah mencatat, bagaimana kegemilangan negara-negara dibawah naungan syariat Islam. Apabila kita mencermati bagaimana pelaksanaan pembayaran zakat di masa klasik, mulai masa Nabi Muhammad SAW sampai Khulafaur Rasyidin, zakat benar-benar menjadi ujung tombak kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Islam. Hal ini terus berlanjut sampai pada masa Tabi’in. Umat Islam yang kurang mampu benar-benar diperhatikan dan kesejahteraannya terpenuhi.

Hal tersebut juga bisa dicermati dari keadaan masyarakat Islam di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Keberadaan masyarakat Islam di bawah kepemimpinan beliau benar-benar sejahtera dan makmur berkat optimalisasi zakat. Pada masa ini sedemikian sejahtera masyarakatnya, sampai-sampai Khalifah men-tasaruf-kan zakat yang ada ke luar negeri, di luar wilayah kekuasaan Khalifah. Penunaian zakat tidak hanya untuk kesejahteraan masyarakat, akan tetapi juga untuk negara.

Para ulama telah menetapkan bahwasannya hukum-hukum syariat diperintahkan dengan tujuan kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat, baik itu mashlahat dharuriyyah, hajiyah ataupun tahsiniyah.[5] Termasuk di dalamnya juga zakat. Zakat sebagai salah satu rukun Islam, tak hanya memiliki tujuan untuk peribadatan kepada Allah SWT semata, namun memiliki tujuan lain. Para ulama telah menyebutkan bahwasannya hukum-hukum syariat diperintahkan dengan tujuan kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat. Di antara tujuan atau kemaslahatan yang didapatkan dari zakat adalah berfungsi sebagai pemerataan harta dan mencukupi kebutuhan orang miskin.

Para ulama telah menyebutkan bahwasannya, diantara tujuan pensyariatan suatu ibadah adalah untuk menjaga dharuriyah khamsah. Yang apabila salah satunya tidak terpenuhi, maka hamba akan merasakan kesulitan di dunia maupun di akhirat. Dharuriyah khamsah tersebut meliputi; hifdhud-din yaitu penjagaan terhadap agama, hifdhun-nafs yaitu penjagaan terhadap jiwa, hifdhul-‘aql yaitu penjagaan terhadap akal, hifdhun-nasl yaitu penjagaan terhadap keturunan, dan hifdhul-mal yaitu penjagaan terhadap harta.

Adapun dalilnya adalah dengan cara penelitian dan analisa terhadap semua dalil, baik dalil yang sifatnya umum maupun khusus. Hal tersebut tidak dibatasi pada satu nash, ataupun kejadian khusus, akan tetapi setiap syariat, seluruhnya meliputi kemashlahatan hamba.

Menurut Yusuf Qardhawi, zakat (meskipun sering disebut bersamaan dengan shalat di pembahasan fiqh ibadah) tidak masuk dalam peribadatan mahdhah (murni). Akan tetapi zakat lebih dekat kepada muamalah. Karena zakat mencakup urusan perbendaharaan kaum muslimin (jika lingkupnya besar adalah hubungan antara daulah dan pemilik harta). Akan tetapi tidak seluruhnya pembahasan zakat keluar dari lingkup ta’abbud.

Zakat sebagai salah satu rukun Islam memiliki maqashid yang berkaitan terhadap personal maupun masyarakat:

  1. Untuk Personal
  2. Maqashid Ta’abbudi (Totalitas Peribadatan)

Tak perlu diragukan lagi, bahwa beribadah kepada Allah SWT, dan mendekatkan diri kepadanya dalam setiap amal adalah tujuan tertinggi dari diturunkannya syariat. Sebagaimana Allah berfirman, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaku.”[6]

  • Zakat Merupakan Bagian dari Rukun Islam

Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang dengannya agama ini tegak. Oleh karena itu, beragama dan beribadah tanpanya menjadi tidak sempurna. Dari Abu Abdurrahman: Abdullah bin Umar bin Khathab radhiallahu’anhuma, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Islam dibangun di atas lima rukun; bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji, dan puasa Ramadhan.[7]

Di dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat perintah mendirikan shalat yang beriringan dengan perintah menunaikan zakat. Diantaranya adalah “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.”[8] Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwasannya penjagaan terhadap zakat sama dengan penjagaan terhadap shalat. Salah seorang ulama mengatakan, “Allah SWT menggandengkan shalat dengan zakat, seolah-olah Allah tidak ridha jika salah satunya dikerjakan tanpa yang lain.”

Dan dengan ayat-ayat ini pula Abu Bakar Ash-Shiddiq tetap teguh memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat dan mengatakan, “Demi Allah Aku akan memerangi orang yang memisahkan antara kewajiban shalat dan kewajiban zakat, karena sesungguhnya zakat adalah hak harta. Demi Allah jika mereka menolak membayarkan anak kambing yang mereka bayarkan kepada Rasulullah, sungguh Aku akan memerangi mereka.”[9]

  • Menunaikan Zakat Merupakan Bentuk Syukur

Sesungguhnya bersyukur terhadap nikmat zhahir maupun bathin merupakan salah satu cabang keimanan. Syukur harus dikerjakan dengan perkataan dan perbuatan. Dan mensyukuri harta adalah dengan menzakati, dan bersedekah dalam kebaikan.[10]

  • Zakat Merupakan Bukti

Rasulullah bersabda, “Shalat adalah cahaya, dan shadaqah adalah burhan.[11] Burhan adalah bukti. Barang siapa memberikan zakat karena melakukan perintah Allah, dan mengasihi orang yang membutuhkan, maka itu adalah bukti kejujuran iman seseorang di dalam hatinya.[12]

  1. Maqashid Tarbawi (Pendidikan)

Jika maqashid ta’abbudi adalah maqashid ashl, maka tarbiyah dan penyempurnaan akhlak juga merupakan maqashid suatu ibadah, yaitu maqashid tabi’i (pengikut). Dan tidak diragukan bahwa maqashid tabi’i merupakan penopang maqashid ashl. Maka zakat juga datang untuk mendidik dan menyempurnakan akhlak hamba.[13]

  • Zakat Sebagai Pembersih

Al-Qur’an telah memberikan peringatan akan keburukan sifat kikir, dan menjauhinya merupakan kunci keberuntungan. Allah berfirman, “Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”[14]

Membersihkan muzakki dari sifat pelit merupakan tujuan tarbiyah yang terpenting pensyariatan zakat. Imam Al-Kasani mengatakan, “Zakat membersihkan jiwa muzakki dari kotoran dosa, mensucikan akhlaknya dengan akhlak dermawan dan mulia, serta menjauhkannya dari sifat kikir dan bakhil. Jika jiwa telah sembuh dari kikir terhadap harta, maka akan menimbulkan kemurahan hati, terlatih untuk menunaikan amanah, dan memberikan hak-hak orang lain.”[15]

Adapun bagi penerima zakat, maka zakat tersebut akan membersihkan dari keburukan iri dan dengki, menggugurkan perasaan-perasaan kebencian dan melindunginya dari perbuatan minta-minta. Zakat juga berperan sebagai terciptanya ruh ukhuwah islamiyah yang lahir dari tolong-menolong, solidaritas dan saling menjamin.[16] Allah SWT berfirman, “Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.

Ayat tersebut juga dikuatkan dengan hadits Nabi SAW, “Dan sedekah akan memadamkan (menghapus) dosa sebagaimana air memadamkan api.”[17]

  • Zakat Sebagai Pensuci

Tathhir (pembersihan) lebih mengarah kepada pembersihan sifat-sifat negatif, sedangkan tazkiyah (pensucian) adalah menumbuhkan sifat positif. Keduanya merupakan dua amalan yang mendidik untuk membersihkan diri dari sifat yang hina dan menghiasi diri dengan sifat yang utama. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”[18]

Adapun makna tazkiyah (pensucian) pada ayat, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka.[19] mengandung makna pengembangan atau pertumbuhan.

Zakat merupakan amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dan merupakan penghubung yang kuat antara hamba dengan Rabbnya. Zakat juga menambah kesadaran akan kewajiban dan menunaikan hak orang lain, berperan untuk mewujudkan kebahagiaan bersama, ihsan terhadap orang lain, peduli terhadap fakir miskin, dan respon untuk orang-orang yang membutuhkan.[20]

Adapun bagi penerima zakat, maka ia berfungsi untuk menumbuhkan ukhuwah islamiyah, peduli terhadap penjagaan masyarakat yang tidak membiarkan mereka di dalam kemiskinan, serta memperkuat keyakinannya terhadap agama yang menjamin haknya. Meskipun begitu, agama ini tidak mengajarkan untuk bermalas-malasan, duduk dan menunggu sedekah, akan tetapi menyemangati untuk mencari penghasilan, juga mengabarkan bahwa tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah.[21]

  1. Untuk Masyarakat
  2. Maqashid Ijtima’i (Kehidupan Sosial)

Zakat merupakan bagian dari sistem jaminan sosial di dalam Islam. Jaminan sosial tersebut tidak dikenal orang Barat, kecuali dalam keadaan susah, yaitu jaminan hidup, dengan cara membantu kelompok yang fakir dan lemah. Sedangkan Islam mengenal jaminan sosial dalam keadaan lapang, baik jaminan material maupun jaminan jiwa.[22]

Tujuan zakat memiliki dampak pada kehidupan kemasyarakatan secara luas. Dari segi kehidupan masyarakat, zakat merupakan suatu bagian dari sistem jaminan sosial dalam Islam. Kehidupan masyarakat sering terganggu oleh problema kesenjangan, gelandangan, problema kematian dalam keluarga dan hilangnya perlindungan, bencana alam, dan sebagainya.

Kewajiban zakat dalam Islam merupakan salah satu instrumen untuk mewujudkan solidaritas sosial. Karena itu, pembayaran zakat oleh muzakki atau orang-orang kaya bukan merupakan bentuk pemihakan kepada orang miskin, sebab orang kaya bukanlah pemilik riil kekayaan itu. Begitu pula sebaliknya, mustahiq atau penerima zakat tidak boleh memandang penerimaan zakat sebagai perlakuan tidak baik, karena apa yang mereka terima sebenarnya adalah hak mereka yang telah ditentukan oleh Allah dalam kekayaan orang-orang kaya.[23]

Dalam pandangan Islam, segala jenis sumber daya alam dipandang sebagai pemberian atau titipan Allah kepada manusia yang harus dimanfaatkan seefisien dan seoptimal mungkin guna memenuhi kesejahteraan bersama. Manusia kemudian akan dimintai pertanggungjawaban atas amanah tersebut di akhirat nanti. Karena itu, kewajiban zakat merupakan suatu yang alamiah bagi kehidupan manusia, karena zakat yang dikeluarkan pada hakikatnya dikembalikan kepada pemilik utamanya yaitu Allah SWT.[24]

Dengan demikian, Islam memandang harta secara proporsional. Harta dapat dipandang sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya, atau sebagai bekal ibadah, atau dapat pula sebagai ujian atas keimanan. Islam kemudian menyuruh manusia untuk menjaga harta dan melarang menghambur-hamburkannya, karena sesungguhnya di dalam harta itu ada hak-hak sosial. Sebaliknya, Al-Qur’an mencela orang yang memubazirkan harta mereka.[25]

Sistem sosial Islam sangat menekankan keseimbangan yang adil antara individu dan masyarakat. Sistem sosial Islam tidak menganiaya masyarakat, seperti yang dilakukan kaum Kapitalis, tidak pula menganiaya hak-hak atau kebebasan individu sebagaimana yang dilakukan kaum Marxisme, tetapi pertengahan di antara keduanya. Ia tidak menyia-nyiakan dan tidak berlebih-lebihan, tidak melampaui batas dan tidak pula merugikan. Islam telah memberikan hak masing-masing dari individu dan masyarakat secara utuh dan menuntut penunaian segala kewajibannya.[26]

Jaminan sosial tersebutlah yang tidak dipahami oleh orang-orang Barat, kecuali dalam keadaan terdesak. Mereka tidak berfikiran untuk ikhlas kepada Allah dan menyayangi orang-orang lemah. Tetapi mereka melakukannya untuk mendapat balasan lebih.[27]

  1. Maqashid Iqtishadi (Perekonomian)

Zakat memiliki peran yang sangat penting bagi perekonomian. Islam telah mengharamkan untuk menyimpan harta, dan menahannya dari peredaran. Allah SWT berfirman, “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.[28]

Tidak cukup hanya ancaman yang keras, tetapi juga mengumumkan perang bagi orang-orang yang menahan hartanya, dan memberikan ampunan bagi yang mengeluarkan hartanya.

Islam mewajibkan untuk mengeluarkan 2,5 % pada uang ketika telah mencapai nisab. Maka dengannya, Islam mengeluarkan harta tersebut supaya beredar untuk kepentingan umum, bukan hanya beredar di kalangan satu orang hingga berlalunya tahun. Maka telah ada hadits atau atsar yang mengatakan, “Perniagakanlah harta anak yatim, sehingga harta tersebut tidak habis karena zakat.”[29]

Di antara tujuan zakat adalah untuk mencukupkan kebutuhan dan mengkayakan orang-orang fakir. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah dari Umar radhiyallah ‘anhu, “Jika kalian memberikan mereka (zakat), maka mereka akan tercukupi”. Oleh karenanya ada sebagian fuqaha yang berpendapat bahwa fakir dan miskin diberikan zakat hingga terpenuhi kebutuhannya selama setahun. Dan sebagian lagi berpendapat mencukupinya seumur hidup.[30]

Jika kita memperhatikan penetapan hukum Islam terhadap pengaturan harta, termasuk juga zakat, maka kita akan mendapati bahwa Islam berusaha untuk meratakan kekayaan, bukan hanya dimiliki sebagian orang. Hal ini diwujudkan dengan pencukupan kebutuhan orang-orang fakir.

  1. Maqashid Da’awi (Seruan)

Dan diantara tujuan disyariatkannya zakat adalah menyeru manusia kepada Islam dan saling menyayangi mereka. Al-Qur’an telah menyebutkan “muallafati qulubuhum” sebagai salah satu mustahiq zakat.[31] Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[32]

Menurut sebagian mufassir, “muallafah qulubuhum” adalah kaum yang berislam pada dhahir-nya saja, tetapi belum meyakini sepenuh hati. Maka mereka diberikan zakat untuk menguatkan keislaman di dalam hati mereka, atau untuk menghimpun kaum mereka kepada Islam .[33]

Dan sebagian ahlu ilmi memasukkan dai di dalam golongan “fii sabilillah”, yang kebanyakan membatasinya dengan mujahidin yang berperang di jalan Allah. Mereka beralasan bahwa jihad fi sabilillah adalah dengan lisan dan senjata. Islam  juga tidak memerangi musuhnya sebatas dengan senjata, tetapi juga dengan perang pemikiran dan perang media informasi. Sedangkan musuh-musuh Islam  menginfakkan hartanya untuk menyesatkan dari jalan Allah.[34] Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang kafir mereka menginfakkan harta mereka untuk menyesatkan dari jalan Allah.”[35]

Kesimpulan

Para ulama telah menetapkan bahwasannya hukum-hukum syariat diperintahkan dengan tujuan kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat. Karena diantara tujuan pensyariatan ibadah adalah untuk menjaga dharuriyah khamsah (hifdhud-din, hifdhun-nafs, hifdhul-‘aql, hifdhun-nasl, dan hifdhul-mal).

Zakat yang merupakan bagian rukun Islam memiliki banyak sekali maqashid yang berhubungan untuk personal maupun masyarakat. Diantara maqashid zakat adalah untuk hifdhud-din yang tercermin dalam maqashid ta’abbudi dan maqashid da’awi. Zakat juga memiliki maqashid untuk hifdhun-nafs, yaitu untuk mengatasi kemiskinan, mendistribusikan dana untuk kepentingan umum dan menjaga kehidupan sosial yang tercermin dalam maqashid iqtishadi dan maqashid ijtima’i. Namun secara umum, para ulama memasukkan zakat ke dalam kategori hifdhul-mal.

[1] Kiwix versi offline, Kemiskinan di Indonesia

[2] Ibid.

[3] Kutbuddin Aibak, Zakat Dalam Perspektif Maqashid Asy-Syariah. Jurnal. Tulungagung: IAIN Tulungagung, 2015, hlm. 2

[4] Ibid.

[5] Dharuriyah adalah maslahat yang bersifat primer, kehidupan manusia sangat tergantung padanya, baik diniyah maupun duniawi. Maslahat ini tidak dapat ditinggalkan. Jika tidak ada, kehidupan manusia di dunia akan rusak dan akan mendapatkan hukuman di akhirat. Hajiyah adalah maslahat yang bersifat sekunder, yang diperlukan manusia untuk mempermudah dalam kehidupan dan menghilangkan kesulitan. Jika tidak ada, akan terjadi kesulitan yang tidak sampai merusak kehidupan manusia. Tahsiniyah adalah maslahat yang bersifat tersier untuk meningkatkan kualitas kehidupan. Maslahat ini merupakan tuntutan moral yang dimaksudkan untuk kebaikan dan kemuliaan. Jika tidak ada, tidak sampai merusak ataupun menyulitkan kehidupan manusia.

[6] QS. Adz-Dzariyat: 56

[7] HR. Bukhari (8) kitab Al-Iman, Muslim (16) kitab Al-Iman

[8] QS. Al-Baqarah: 43

[9] Ma’arijul qabul, juz 3, hal. 1145 (versi maktabah syamilah)

[10] Dr. Rasyid As-Samghuly bin Ahmad, Al-Maqashid Asy-Asyari’ah li Nidham Az-Zakah, 2018, hlm. 29-30

[11] HR. Muslim (223) kitab Ath-Thaharah

[12] Dr. Rasyid As-Samghuly bin Ahmad, Al-Maqashid Asy-Asyari’ah li Nidham Az-Zakah, 2018, hlm. 30

[13] Ibid.

[14] QS. At-Taghabun: 16

[15] Abu Bakr bin Mas’ud Al-Kasani Al-Hanafi, Bada’iu Ash-Shana’i’ fi Tartib Asy-Syari’, Berut: Dar Al-Kutub Al-Alamiah, Juz 2, hlm. 3

[16] Dr. Rasyid As-Samghuly bin Ahmad, Al-Maqashid Asy-Asyari’ah li Nidham Az-Zakah, 2018, hlm. 30

[17] HR. Tirmidzi (2619) kitab Al-Iman

[18] QS. Al-A’la: 14-15

[19] QS. At-Taubah: 103

[20] Dr. Rasyid As-Samghuly bin Ahmad, Al-Maqashid Asy-Asyari’ah li Nidham Az-Zakah, 2018, hlm. 30

[21] Ibid.

[22] Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh Az-Zakah, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, Cet. Kedua, 1973, hlm.880

[23] Moh. Khasan, Zakat dan Sistem Sosial Ekonomi dalam Islam, Semarang: IAIN Walisongo, 2011, hlm. 9

[24] Ibid., hlm. 9

[25] Ibid., hlm. 10

[26] Ibid.

[27] Ibid.

[28] QS. At-Taubah: 34

[29] Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh Az-Zakah, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, Cet. Kedua, 1973, hlm. 884

[30] Dr. Rasyid As-Samghuly bin Ahmad, Al-Maqashid Asy-Asyari’ah li Nidham Az-Zakah, 2018, hlm. 32

[31] Ibid., hlm. 33

[32] QS. At-Taubah: 60

[33] Ibnu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi, Al-Jami’ Al-Ahkam Al-Qur’an, hlm. 178-179

[34] Dr. Rasyid As-Samghuly bin Ahmad, Al-Maqashid Asy-Asyari’ah li Nidham Az-Zakah, 2018, hlm. 33

[35] QS. At-Taubah: 36

TINGGALKAN KOMENTAR

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

PENGUNJUNG