SEKILAS INFO
: - Kamis, 12-12-2024
  • 4 bulan yang lalu / Pengambilan Sanad Al Qur’an Qira’ah Imam Ibnu katsir (Riwayat Al Bazzi & Qunbul) Online bersama Ust Khoirul H. Faturrozy, info hub. 089667586200  
  • 11 bulan yang lalu / Bingung pilih pondok Tahfidz atau pondok IT ? di Darul Fithrah kamu bisa dapat keduanya. Lebih Efektif & Efisien
  • 1 tahun yang lalu / Penerimaan Santri Baru ponpes Darul Fithrah resmi di buka
SERUAN KEJAYAAN | Meniti Dakwah Dengan Cara Yang Indah

   Mukadimah

Allah menciptakan manusia hanya dengan satu tujuan, yaitu bertauhid kepada-Nya; menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Meskipun Allah telah mengikat hamba dengan mitsaq-Nya saat masih berada dalam punggung nabi Adam, kejadian itu telah Allah lupakan dari ingatan manusia saat mereka telah hadir ditengah dunia. Maka, Allah utus dari mereka seorang nabi yang akan berusaha untuk mengembalikan mereka pada fitrah yang satu, yaitu mengesakan Allah.

Dakwah terus berlangsung dengan estafet pergerakannya mulai dari para rasul, berlanjut kepada para penerus dakwah mereka, sehingga sampailah tanggung jawab itu kepada generasi melenial dewasa ini.

Dengan berkembangnya zaman serta sosial budaya masyarakat yang ada, dakwah islam tertuntut untuk menyesuaikan kultur sekitar. Hal ini juga menjadikan pondasi awal yang harus dipijak untuk menarik simpati masyarakat agar mengenal islam lebih dalam dengan berbagai karakter manusia yang heterogen.

Meskipun demikian, ras dan budaya tidak bisa kita kesampingkan, karena salah satu tabiat manusia yang tidak bisa dipungkiri adalah menjunjung tinggi adat budaya yang mereka miliki. Maka seharusnya kita bisa mengasimilasikan budaya yang ada dengan tatanan budaya Islam. sebagaimana yang dilakukan oleh Walisanga terhadap budaya Nusantara yang masih menganut Kapitayan dengan asimilasi budaya Islam agar bisa diterima oleh masyarakat.

Dalam dunia dakwah, seseorang tidak hanya dituntut untuk menyampaikan materi semata. Lebih dari itu perlu adanya konsep yang matang dalam memetakan dakwah. Dibutuhkan da’i yang hakim untuk membina masyarakat dalam mendakwahkan Islam.

Da’i yang hakim adalah mereka yang mempelajari realitas, keyakinan, dan keadaan social mayarakat, yang mampu memahami sifat dan tabiat, juga mampu memposisikan mad’u sesuai keadaan mereka yang berbeda-beda. Al Qahthani menyebutkan di dalam kitabnya  Al Hikmah Fie Ad Da’wah Ilallah bahwa da’i yang hakim itu seperti dokter spesialis yang sangat faham dan mengerti akan penyakit seorang pasien, tahu langkah prefentif untuk menanganinya, dan juga tahu dosis obat yang tepat untuknya. Begitu juga da’i yang hakim, mereka mampu memproporsikan apa yang dibutuhkan masyarakat dan pengajaran seperti apa yang tepat.

Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah,

أمرنا رسول الله أن ينزل الناس منازلهم

“Rasulullah memerintahkan kepada kami untuk memposisikan manusia sesuai posisi mereka.”

 

    Urgensi Antropologi Budaya Dalam Berdakwah

Antropologi merupakan satu bidang ilmu yang mempelajari manusia baik dari segi kebudayaan, perilaku, keanekaragaman, dan lain sebagainya. Antropologi merupakan istilah kata Bahasa Yunani yang berasal dari dua kata, yaitu Anthropos dan logos. Anthropos yang berarti manusia dan logos yang memiliki arti cerita atau kata. Objek garab dari antropologi adalah manusia di dalam masyarakat suku bangsa, kebudayaan, dan perilakunya. Tujuan dari adanya pembelajaran manusia dengan antropologi adalah untuk membangun masayrakat itu sendiri.

Dalam dakwah Islam yang memiliki tujuan mengeluarkan manusia dari peribadatan sesama manusia kepada peribadatan kepada pencipta manusia dan menjunjung tinggi kalimat Ilahiyah, sangat membutuhkan informasi kebudayaan, dan perilaku manusia yang menjadi objek dakwah itu sendiri. Dengan adanya antropologi budaya mayarakat akan mempermudah penyampaian risalah mulia yang dibawa oleh para pewaris Nabi. Dan dengan adanya antropologi dalam dakwah Islam pula kita bisa membangun sebuah masyarakat Islami yang menjunjung tinggi norma-norma ilahi yang termaktub dalam al Qur’an dan Sunna nabi-Nya.

 

  • Implementasi Teori Dakwah

Dakwah tak hanya menyampaikan meteri. Perlu adanya pemahaman tentang kultur masyrakat dengan baik agar dakwah tersebut dapat diterima. Dakwah juga harus disampaikan kepada orang yang tepat dengan bahasa yang disesuaikan menurut logika mereka. Allah menyebutkan dalam al-Qur’an perihal tersebut dalam firman-Nya:

Yusuf: 108

Dalam hal ini ada beberapa pembagian dalam mengaplikasikan metode dalam berdakwah:

Al-Hikmah

Hikmah adalah metode penyampaian dakwah dalam komunitas homogen. Tujuan dari hikmah ini adalah untuk kaderisasi penerus estafet dakwah dalam Islam. Banyak implementasi dari metode ini yang telah tersebar diseluruh nusantara. Pesantren contohnya. Materi yang diberikan adalah bekal bagi mereka dalam kehidupan dunia dan bekal bagi mereka untuk menyampaikan pada sosial yang menjadi tanggung jawab mereka.

Mauidzoh Hasanah

Nasihat yang baik. Adalah metode berdakwah dengan menyampaikan nilai-nilai Islam yang dikemas dalam bingkai budaya. Tujuannya adalah menjadikan Islam sebagai nilai-nilai etika dalam hidup bermasyarakat. Islamisasi suasana juga ditujukan agar akhlak, ibadah dan syariat dapat terjaga dengan baik yang diperlihatkan dan diperkenalkan dalam acara masal seperti kajian akbar yang diperuntukkan untuk kalangan umum.

Jidal billati Hiya Ahsan

High Class. Mereka yang memiliki pendidikan tinggi serta jajaran ternama dikelasnya memang tak mudah ditaklukkan hanya dengan kata-kata. Karakter mereka yang serba memiliki adalah tantangan tersendiri. Logika publik dikedepankan dalam mendakwahkan Islam kepada mereka. Perlu adanya strata keilmuan yang dimiliki para pendakwah. Untuk itu, tak sembarang orang yang bisa menyentuh mereka. Tujuan dari dakwah kepada mereka adalah menjadikannya operasi informasi yang dapat menyadarkan banyak orang dari kalangan mereka apabila salah satu diantaranya telah sadar akan Islam itu sendiri.

Al-Quwwah

Kekuatan adalah metode terakhir yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang tidak bisa menerima ajakan Islam serta memeranginya. Tujuannya adalah pembentukan mindset bahwa penolakan berakibat kepada hal yang lebih memberatkan.

Untuk itu, dakwah tidak bisa dijalankan dengan sendiri, perlu adanya kolaborasi terhadap sesama pendakwah. Komunitas diperlukan untuk membina dan saling melengkapi antar satu dan lainnya. Namun, perlu diperhatikan unsur-unsur penting yang harus terdapat dalam suatu komunitas. Itu semua menuntut adanya 7 unsur dalam struktural organisasi, yaitu menejer, mobile, worker, idiologis, politikus serta negarawan, yang kesemua mengsinkronkan antara satu sama lain.

Kesesuaian Dalam Berdakwah

  1. Gradasi Manusia Terhadap Islam

Selama bara Islam itu masih menyala, selama itu pula musuh-musuh Islam selalu ada untuk memadamkannya. Keduanya itu akan selalu ada, dan hanya satu yang akan menang. Ketika Islam itu menang maka kebatilan akan terpendam dalam, dan ketika kebathilan yang mendominasi maka Islam lah yang akan terpendam. Namun, janji Allah pasti terwujud, innal bathila kana zahuqa (sesungguhnya kebatilan itu akan binasa).

Tidak sepenuhnya dalam tubuh umat Islam orang yang mendukung dan memperjuangkan keutuhan Islam. bahkan ada yang diam-diam menggerogoti Islam dari dalam, musuh dalam selimut. Berikut ini adalah gradasi manusia dalam Islam.

  • Musuh Islam

Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah akan rela melihat Islam itu tampak di atas muka bumi. Merekalah orang-orang kafir yang selalu berupaya untuk memadamkan cahaya Islam dan orang-orang munafiq mereka lebih berbahaya dari pada orang-orang kafir. Kenapa? Karena mereka seakan-akan menampakan loyalitas mereka kepada Islam padahal dalam diri mereka salalu benci terhadap Islam, mereka adalah musuh dalam selimut.

  • Netral

Golongan kedua, jenis orang yang acuh terhadap Islam juga tidak mendukung terhadap permusuhan Islam. mereka hanya mementingkan kesejahteraan pribadi dari pada kesejahteraan Islam. asal tidak mengusik agama lain, dan berbuat baik kepada sesame itu sudah cukup. Ketika Islam diinjak-injak, mereka menutup mata dan telinga tak peduli, asal mereka tidak terganggu dan  terusik.

  • Simpatisan

Simapatisan adalah orang-orang yang memiliki kepedulian disaat Islam itu diinjak-injak dan dihinakan. Maka mereka akan muncul untuk membuktikan kepedulian mereka terhadap Islam. namun ketika Islam dalam keadaan biasa, mereka akan kembali “diam” dan tidak menampakkan eksistensi keislaman mereka.

  • Supporter

Yaitu jenis orang yang memiliki andil dalam setiap langkah perjuangan Islam dalam bentuk materiel dan moril. Namun mereka tidak ingin dilibatkan ketika Islam diintimidasi dan dipojokkan. Mereka tidak ingin terseret kepada keadaan yang menyebabkan diri mereka menjadi susah.

 

  • Aktivis Islam

jenis terakhir ini adalah jenis yang tergolong menjadi muslim yang kaffah, yang all out dalam memperjuangkan Islam. dalam keadaan apapun mereka selalu ada untuk memperjuangkan Islam. mengerahkan segenap tenaga untuk kemuliaan Islam, baik dukungan materiel maupun moril. Bisa dibilang hidup mereka itu hanya untuk Islam, karena mereka faham bahwa tujuan mereka diciptakan adalah untuk itu semua.

 

Menilik keberagaman sikap manusia terhadap Islam, maka berbeda pula cara menyeru kepada mereka. Kelompok pertama, yaitu musuh Islam, menyeru mereka dengan jiddal billati hiya ahsan(berdebat dengan baik) dan  bil quwwah(kekuatan) ketika memang diperlukan. Adapun untuk kelompok kedua hingga keempat menggunakan metode dakwah yang kedua, yaitu mauidzah hasanah (nasehat dan petuah yang baik). Golongan ketiga adalah dengan metode hikmah untuk menjaga keistiqamahan mereka dalam memperjuangkan Islam.

Menjadi Da’i Yang Hakim

Keragaman masyarakat itu membuat seorang da’I harus jeli untuk bagaimana mensikapi setiap individu masyarakat. Kita tidak mungkin memukul rata semua masyarakat dengan satu sikap yang sama. Karena masyarakat terbagi menjadi tiga golongan, golongan high class, middle class, dan bawahan.

Golongan pertama adalah golongan orang orang yang sangat melek dengan Pendidikan, bangsawan dan hartawan. sedangkan golongan kedua adalah golongan menengah ke atas, yaitu mereka para hartawan yang memiliki pengaruh social yang cukup baik. Golongan ketiga adalah kaum bawahan, yaitu golongan orang yang tidak memiliki pengaruh social.

Dalam menyikapi keberagaman mereka maka seorang da’i harus memperhatikan beberapa hal berikut.

Keyakinan, adat, dan kultur budaya masyarakat.

Keyakinan, adat, dan budaya merupakan tiga hal yang paling urgen untuk difahami. Ketiganya merupakan panutan mayarakat yang sangat sensitif dan sangat dijaga oleh setiap individu dalam bermasyarakat. Kalau seandainya kita memaksakan sebuah tradisi baru yang mereka masih merasa asing dengan apa yang dibawa oleh seorang da’I, maka itu hanya akan menimbulkan gejolak dari masyarakat yang mungkin akan menghambat perjalanan dakwah.

Dalam hal ini walisongo telah memberikan qudwah kepada kita dalam menghormati adat tanpa harus menghilangkan esensi dakwah Islam yang dibawa. Keyakinan masayarakat Nusantara kala itu masih menganut kepercayaan kapitayan, yaitu masih menganut penyembahan kepada roh-roh gaib dan sebagian besar masyarakat nusantara menganut ajaran Syiwa-Budha dan Hindu.

Kepercayaan yang bisa dikatakan sudah mendarah daging akan sangat sulit untuk dirubah kecuali dengan usaha yang keras dan sangat hati-hati. Walisongo sangat faham akan hal ini, terlebih lagi sunan kalijaga, seorang wali yang mampu menarik perhatian masyarakat “hitam” Nusantara.

Sunan Giri, cerita yang cukup unik untuk dibaca tatkala beliau berada di suatu tempat yang gersang karena tidak ada pasokan air ke desa tersebut. Kemudian beliau mengusulkan untuk membuat saluran irigasi yang diambilkan dari gunung yang akhirnya berhasil mengubah desa yang gersang menjadi desa yang hijau. Lambat laun masyarakat pun menaruh simpati kepada sunan “sang pencerah” ini. Sunan Giri tidak buru-buru untuk mencekoki mereka dengan ajaran-ajaran Islam secara langsung, akan tetapi baliau setahap demi setahap mulai mengajarkan kepada mereka tentang Syiar-syiar Islam. Ketika memangun  sebuah mushalla, salah seorang bertanya tempat apa yang akan dibagun ini, karena tidak familiar dengan kata mushalla dan mereka menyebut sendiri dengan nama langga. Yaitu adaptasi dari kata sanggar yang dalam agama budha adalah tempat peribadatan.

Psikologi dan social

Keadaan psiko-sosial masyarakat juga harus menjadi pertimbangan dalam menyampaikan dakwah Islam. Status sosial individu masyarakat tidak bisa disama ratakan, karena suatu daerah pasti memiliki keragaman status sosial masyarakatnya.

Seorang da’i yang hakim harus mampu memetakan setiap individu masyarakat. Seorang da’i juga harus bisa memprioritaskan dakwah mereka kepada orang yang memiliki pengaruh yang besar. Sehingga ketika kita menyeru kepada mereka, maka orang-orang yang ada di bawah mereka akan ikut menyertai mereka. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.

suatu ketika, Rasulullah pernah bertemu dengan Umar bin Khattab yang sedang membawa lembaran. Rasulullah pun bertanya tentang lembaran apa yan gsedang ia bawa. Umar pun menjawab bahwa lembaran itu adalah Taurat. Maka Rasulullah pun marah dan berkata, “apakah ini sebuah kealpaanmu wahai umar, sesungguhnya telah turun kepadaku kitab yang nyata. Kalaulah saudaraku, Musa masih hidup, niscaya ia akan mengikutiku, dan kalaulah saudaraku, Musa masih hidup dan engkau mengikutinya maka engaku akan tersesat.”

Suatu sikap yang mungkin amat sangat keras terhadap sahabat Nabi sekelas Umar. Kenapa demikian? Karena Umar itu adalah orang yang telah kokoh keimanannya terhadap Islam. Maka wajar apabila rasulullah menegur kesalahannya. Berbeda dengan sikap Rasulullah kepada seorang badui yang kencing di pojokan masjid. Ketika para sahabat hendak mencecar dan mengusirnya, Rasulullah melarang mereka. Rasulullah malah membiarkan dan memaafkannya. Kenapa demikian? Karena Rasulullah faham bahwa ia adalah seorang badui yagn tidak memiliki pemahaman tentang Islam. Dengan sikap kebijaksanaan beliau akhirnya menyebabkan si badui masuk Islam.

Intelektualitas masyarakat

Ali bin Abi Thalib berkata,

حدثوا الناس بما يعرفون ، أيحب أن يكذب الله ورسوله

“Berbicaralah kepada manusia sesuai pemahaman mereka, apakah engkau suka mendustai Allah dan rasul-Nya.”

Ditinjau dari sisi intelektualitasnya, masyarakat terbagi menjadi dua golonga, golongan akademisi dan golongan non akademisi. Dalam menyampaikan Islam kepada kaum akademisi tidak cukup kita hanya menjelaskan sesuatu dengan apa yang kita fahami semata tanpa menghadirkan dalil-dalil yang bisa dipertanggungjawabkan. Orang terpelajar sangat menghargai ilmu dan sangat kritis dan responsif terhadap sesuatu yang baru. Sangat berbeda dengan orang tidak terpelajar atau non akademisi, mereka sangat mudah menerima meskipun tanpa menyebutkan dalil-dalil, karena mereka memandang seorang da’i sebagi sirajul ummah yang sudah barang pasti memiliki kapabelitas tinggi.

 

Penutup

Menjadi da’i tidak hanya membutuhkan wawasan yang luas, akan tetapi juga membutuhkan kepiawaian dan skil yang mumpuni. Mempelajari realita yang ada, mamahami, kemudian menyesuaikan diri dengan keadaan yang sedang dihadapi. Tolak ukur berdakwah bukan lah keberhasilan yang terwujud dengan berbilangnya angka kuantitas, akan tetapi diwujudkan dengan kualitas dan lebih sempurna dengan berbilangnya kuantitas keislaman masyarakat.

Seorang da’i juga harus memiliki visi dan misi yang jelas sebagai kerangka dakwah yang jelas dan bisa dijadikan sebagai bahan introspeksi diri juga harus memiliki kapasitas pribadi yang kapabel dalam segala hal. Karen faqidusy syai’ la yu’ti, orang yang tak memiliki sesuatu tidak akan bisa memberi. Wallahu a’lam bish shawab.

Oleh : iRits

TINGGALKAN KOMENTAR

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

PENGUNJUNG