Pertama, jihad defensif (difâ’i). Yaitu memerangi orang-orang yang memerangi kaum muslimin dan menahan diri dari orang-orang yang tidak memerangi.[1]
Jika orang-orang kafir mendatangi negeri kaum muslimin dan ingin menguasainya, maka berjihad dan mempertahankan diri ketika itu hukumnya fardhu ‘ain kepada orang-orang yang terbebani kewajiban jihad di negeri tersebut. [2] Berdasarkan firman Allah Ta‘âla, “Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun dengan rasa berat…”[3]Ada yang mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan masalah penyerangan musuh ke semua daerah kekuasaan Islam.
Juga berdasarkan firman Allah Ta‘âla, “Tidak pantas bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak pantas (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada (mencintai) diri Rasul…”[4] jika kondisi perang sudah seperti itu, wanita-wanita diperbolehkan berperang tanpa izin suaminya, begitu juga anak-anak boleh ikut perang tanpa seizin kedua orang tuanya.
Jika penduduk negeri yang diserang musuh itu lemah dan tidak mampu untuk melakukan perlawanan terhadap orang-orang kafir dan ditakutkan mereka akan dikuasai orang-orang kafir, maka kaum muslimin yang ada disekitarnya yang paling dekat diharuskan untuk berangkat dan membantu mereka dengan menyuplai senjata, kendaraan dan harta. Jihad tersebut hukumnya fardhu ‘ain bagi orang-orang yang mempunyai kemampuan berjihad, akan tetapi kewajiban tersebut akan gugur ketika sebagian kaum muslimin mengerjakannya dan mencukupi. Ketika belum mencukupi, maka kewajiban tersebut tidak gugur. Kewajiban tersebut akan melebar ke kaum muslimin yang ada di sekitarnya, dari yang paling dekat, kemudian yang dekat (yang derajat dekatnya lebih rendah dari sebelumnya), dan terus melebar hingga mencukupi dan mampu melakukan perlawanan terhadap orang-orang kafir.[5]
Pada kondisi ini, kaum wanita diperbolehkan ikut berjihad tanpa harus izin kepada suami mereka, seorang anak diperbolehkan ikut berjihad tanpa izin kedua orang tuanya, dan seorang budak juga diperbolehkan ikut berjihad tanpa izin tuannya.[6]
Kedua, jihad ofensif (hujûmi atau thalabi). Yaitu mendatangi orang-orang kafir di negeri mereka bagi orang-orang yang mempunyai kemampuan berjihad untuk memerangi mereka hingga mereka masuk Islam atau mereka tunduk kepada Islam.[7] Berdasarkan firman Allah Ta‘âla, “Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan.”[8]
Jihad ofensif hukumnya fardhu kifayah, apabila sebagian orang sudah melaksanankan jihad, kewajiban jihad orang lain akan gugur.[9] Berdasarkan Firman Allah Ta‘âla, “Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.”[10] Pada ayat tersebut, Allah Ta‘âla menjanjikan pahala kebaikan kepada keduanya, yaitu para mujahidin dan qa’idin (orang-orang yang tidak berjihad). Seandainya jihad hukumnya fardhu ‘ain, maka Allah Ta‘âla tidak akan menjanjikan kebaikan kepada orang-orang yang tidak berjihad, karena tidak ikut berjihad hukumnya haram.[11]
Dan firman Allah Ta‘âla di surat lain, “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”[12] Tujuan jihad adalah untuk menyebarkan dakwah islam, menjunjung tinggi agama yang benar, dan mencegah dari gangguan serta serangan orang kafir. Jika tujuan ini bisa tercapai hanya dengan mengerahkan sebagian umat islam, kewajiban itu menjadi gugur bagi umat islam yang lainnya.[13] Seandainya jihad hukumnya adalah fardhu ‘ain pada setiap keadaan, maka tidak akan digambarkan adanya segolongan orang yang tidak ikut berjihad, dan tidak pula mengizinkannya untuk tidak ikut. Namun jika hukum jihad adalah fardhu kifayah, maka tidak sepatutnya bagi imam untuk mengosongkan perbatasan dari sekelompok pasukan yang bekecukupan. Jika kewajiban tersebut sudah dilakukan sebagian kaum muslimin, maka kewajiban tersebut akan gugur bagi yang lainnya.[14]
Pada kondisi ini, kaum wanita tidak diperbolehkan ikut berjihad kecuali setelah mendapat izin dari suami mereka sebab menjalankan tugas sebagai istri merupakan fardhu ‘ain. Begitu juga seorang anak tidak boleh ikut berjihad kecuali atas izin kedua orang tuanya atau salah satunya jika memang orang tua yang masih hidup hanya satu sebab berbakti kepada kedua orang tua termasuk fardhu ‘ain sehingga harus diutamakan atas tugas yang fardhu kifayah.[15]
Hukum jihad juga menjadi fardhu ‘ain dalam tiga kondisi berikut;[16]
- Ketika dua pasukan sudah mulai berhadap-hadapan. Pada saat seperti ini, seorang muslim yang ada dalam barisan perang tidak boleh mengundurkan diri dan meninggalkan gelanggang perang. Dia harus menghadapi peperangan itu. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta‘âla, “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bertemu pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah banyak-banyak (berzikir dan berdoa) agar kamu beruntung.”[17]
- Jika tentara kafir memasuki daerah kekuasaan umat Islam. Pada saat seperti itu, penduduk daerah tersebut waiib melawan dan mempertahankan diri.
- Jika pemimpin Islam meminta sekelompok orang untuk berperang, orang-orang yang diminta tersebut wajib ikut berperang bersama pemimpin tersebut. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta‘âla, “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa apabila dikatakan kepada kamu, ‘Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Allah, ‘kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu?…”[18]
[1] Shalih bin ‘Ubaid Al-Harbi, Mausu’ah Al-Ijma’ fi Fiqh Al-Islami, (Cet. I, Riyadh: Dar Al-Fadhilah, 1434 H/2013 M), vol. 6, hlm. 31, lihat pula: Ali bin Nafi’ Al-‘Ulyani, Ahammiyah Al-Jihad fi Nasyr Ad-Da’wah Al-Islamiyah, (Cet. I, Riyadh: Dar Thayyibah, 1405 H/1985 M), hlm. 143.
[2] Lihat: Ibnu Qudamah, Al-Mughni libni Qudamah, (Cet. I, Kairo: Maktabah Al-Qahirah, 1969 M), vol. 9, hlm. 197, Al-Kasani Al-Hanafi, Bada’iu Ash-Shana’i fi Tartib Asy-Syari’, (Kairo: Darul Hadits, 2005 M), vol. 7, hlm. 382, An-Nawawi Ad-Damsyiqi, Raudhah Ath-Thalibin, (Cet. I, Beirut: Dar Ibnu Hazm, 2002 M), hlm. 1790, Abu Umar Yusuf bin Abdillah bin Muhammad bin Abdil Bar An-Namri Al-Qurthubi, Kitab Al-Kafi fi Fiqh Ahlil Madinah Al-Maliki, (Cet. I, Riyadh: Maktabah Ar-Riyadh Al-Haditsah, 1978 M), hlm. 462, Abu Bakr Al-Jashash, Ahkam Al-Qur’an, (Beirut: Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi), vol. 4, hlm. 312, Ibnu Hazm, Maratib Al-Ijma’ fi Al-‘Ibadat wa Al-Mu’amalat wa Al-I’tiqadat, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Ilmiyah), hlm. 119, Al-Juwaini, Ghiyats Al-Umam, (Iskandariyah: Dar Ad-Da’wah, 1979), hlm. 191, Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, (Kairo: Dar Al-Kutub Al-Mishriyah, 1384 H/1964 M), vol. 8, hlm. 151, Muhammad Shalih Al-Munjid, Muaqi’ Al-Islam Sual wa Jawab, (tt: tp), vol. 5, hlm. 4868.
[3] QS. At-Taubah: 41.
[4] QS. At-Taubah: 120.
[5] Al-Kasani Al-Hanafi, Bada’iu Ash-Shana’i fi Tartib Asy-Syari’, (Kairo: Darul Hadits, 2005 M), vol. 7, hlm. 382, lihat pula: Wahbah Az-Zuhaili, Fiqhul Islam wa Adillatuh, (Cet. II, Damaskus: Darul Fikr, 1985 M), vol. 6, hlm. 416, Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, (Kairo: Dar Al-Kutub Al-Mishriyah, 1384 H/1964 M), vol. 8, hlm. 151.
[6] Al-Kasani Al-Hanafi, Bada’iu Ash-Shana’i…, hlm. 382, Lihat pula: An-Nawawi Ad-Damsyiqi, Raudhah Ath-Thalibin, (Cet. I, Beirut: Dar Ibnu Hazm, 2002 M), hlm. 1790, Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, (Kairo: Dar Al-Kutub Al-Mishriyah, 1384 H/1964 M), vol. 8, hlm. 151.
[7] Shalih bin ‘Ubaid Al-Harbi, Mausu’ah Al-Ijma’ fi Fiqh Al-Islami, (Cet. I, Riyadh: Dar Al-Fadhilah, 1434 H/2013 M), vol. 6, hlm. 37, lihat pula: Ali bin Nafi’ Al-‘Ulyani, Ahammiyah Al-Jihad fi Nasyr Ad-Da’wah Al-Islamiyah, (Cet. I, Riyadh: Dar Thayyibah, 1405 H/1985 M), hlm. 143.
[8] QS. At-Taubah: 5.
[9] Lihat: Ibnu Qudamah, Al-Mughni libni Qudamah, (Cet. I, Kairo: Maktabah Al-Qahirah, 1969 M), vol. 9, hlm. 196, Al-Kasani Al-Hanafi, Bada’iu Ash-Shana’i fi Tartib Asy-Syari’, (Kairo: Darul Hadits, 2005 M), vol. 7, hlm. 380, An-Nawawi Ad-Damsyiqi, Raudhah Ath-Thalibin, (Cet. I, Beirut: Dar Ibnu Hazm, 2002 M), hlm. 1787, Abu Umar Yusuf bin Abdillah bin Muhammad bin Abdil Bar An-Namri Al-Qurthubi, Kitab Al-Kafi fi Fiqh Ahlil Madinah Al-Maliki, (Cet. I, Riyadh: Maktabah Ar-Riyadh Al-Haditsah, 1978 M), hlm. 463, Wahbah Az-Zuhaili, Fiqhul Islam wa Adillatuh, (Cet. II, Damaskus: Darul Fikr, 1985 M), vol. 6, hlm. 416, As-Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, (Cet. IV, Beirut: Darul Fikr, 1983 M), vol. 2, hlm. 30, Abu Bakr Al-Jashash, Ahkam Al-Qur’an, (Beirut: Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi), vol. 3, hlm. 191, Ibnu ‘Athiyah Al-Muharibi, Al-Muharar Al-Wajiz, (tt: tp), vol. 1, hlm. 238, Az-Zaila’i, Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanz Ad-Daqaiq, (tt: tp), vol. 9, hlm. 260, Muhammad Shalih Al-Munjid, Muaqi’ Al-Islam Sual wa Jawab, (tt: tp), vol. 5, hlm. 4868.
[10] QS. An-Nisa’: 95.
[11] Al-Kasani Al-Hanafi, Bada’iu Ash-Shana’i fi Tartib Asy-Syari’, (Kairo: Darul Hadits, 2005 M), vol. 7, hlm. 380.
[12] QS. At-Taubah: 122.
[13] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqhul Islam wa Adillatuh, (Cet. II, Damaskus: Darul Fikr, 1985 M), vol. 6, hlm. 416.
[14] Al-Kasani Al-Hanafi, Bada’iu Ash-Shana’i fi Tartib Asy-Syari’, (Kairo: Dar Al-Hadits, 1426 H/2005 M), vol. 7, hlm. 380.
[15] Al-Kasani Al-Hanafi, Bada’iu Ash-Shana’i…, hlm. 382, Lihat pula: An-Nawawi Ad-Damsyiqi, Raudhah Ath-Thalibin, (Cet. I, Beirut: Dar Ibnu Hazm, 2002 M), hlm. 1789-1790.
[16] Ibnu Qudamah, Al-Mughni libni Qudamah, (Cet. I, Kairo: Maktabah Al-Qahirah, 1969 M), vol. 9, hlm. 197, Lihat pula: As-Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, (Cet. IV, Beirut: Darul Fikr, 1983 M), vol. 2, hlm. 31, Muhammad bin Shalih bin Muhammad Al-‘Utsaimin, Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, (tt: Dar Al-Wathan, 1413 H), vol. 25, hlm. 303.
[17] QS. Al-Anfal: 45.
[18] QS. At-Taubah: 38.