SEKILAS INFO
: - Jumat, 04-10-2024
  • 2 bulan yang lalu / Pengambilan Sanad Al Qur’an Qira’ah Imam Ibnu katsir (Riwayat Al Bazzi & Qunbul) Online bersama Ust Khoirul H. Faturrozy, info hub. 089667586200  
  • 8 bulan yang lalu / Bingung pilih pondok Tahfidz atau pondok IT ? di Darul Fithrah kamu bisa dapat keduanya. Lebih Efektif & Efisien
  • 1 tahun yang lalu / Penerimaan Santri Baru ponpes Darul Fithrah resmi di buka
JARAL DAN POSISI SUTRAH | Part IV

JARAK DAN POSISI ORANG YANG SHALAT DENGAN SUTRAH

Jumhur ulama mensunnahkan untuk mendekat kepada sutrahnya paling sedikit 3 hasta dari tempat berdirinya, dengan dalil hadits Bilal: “Bahwa Nabi masuk Ka’bah, maka beliau shalat. Jarak antara beliau dan dinding tiga hasta[1]

Imam al-Baghawi berkata: Para ahli ilmu menganggap sunnah mendekat ke sutrah itu, kira-kira antara dia dengan sutrah bisa dipergunakan untuk sujud. Begitu juga halnya antara shaf-shaf sholat.[2]

وعن سهل بن سعد قال : كان بين مصلى رسول الله صلى الله عليه وسلم وبين الجدار ممر شاة. متفق عليه.

Artinya: Dari Sahl bin Sa’ad ia berkata: “Adalah jarak antara tempat sholat Rasulullah dengan dinding, kira-kira cukup berlalunya domba”. (HR. Ahmad, Bukhari, dan Muslim)[3]

Rasulullah apabila melaksanakan shalat menghadap tembok, maka ia jadikan antara dirinya dengan tembok sekitar tempat jalannya seekor kambing, beliau tidak pernah menjauh darinya, bahkan memerintahkan untuk mendekat kepada sutrah.[4]

Posisi

Sebagian ulama mensunnahkan orang yang shalat untuk meletakkan sutrah agak ke kanan atau ke kiri sedikit dan tidak menghadapkan dengan tepat ke arah kiblat. Demikian ini tidak ada dalilnya yang shahih, namun kesemuanya itu boleh.

Apabila makmum masbuq berdiri untuk menyelesaikan raka’at yang tertinggal bersama Imam, sehingga dia keluar dari status sebagai makmum, maka apa yang dia lakukan?

Al-Imam Malik berkata: “Seseorang yang menyelesaikan shalatnya setelah imam salam tidak mengapa dia menuju ke salah satu tiang yang terdekat dengannya, baik yang ada di depan, sebelah kanan, sebelah kiri ataupun di belakangnya. Dengan mundur ke belakang sedikit, dia menjadikannya sebagai pembatas (sutrah), jika tiang itu dekat. Jika jauh, maka dia tetap berdiri di tempat semula, dan menolak orang yang lewat semampunya.”

Ibnu Rusyd berkata: “Jika dia berdiri untuk menyelesaikan raka’at shalatnya yang terputus, jika dia dekat dengan tiang, berjalanlah menuju kepadanya dan itu menjadi sutrah baginya untuk raka’at yang tersisa. Jika tidak ada tiang yang dekat, maka dia shalat sebagaimana keadaannya dan berusaha menolak orang yang lewat di depannya semampunya dan barangsiapa yang lewat di depannya, maka dia berdosa. Adapun orang yang lewat di antara shaf-shaf kaum yang shalat bersama imam, maka tidak ada dosa baginya dalam hal ini, karena imam adalah sutrah untuk mereka. Hanya pada Allahlah taufik tersebut.”

Inilah yang dikatakan oleh Imam Malik dan diikuti oleh Ibnu Rusyd, yang tidak pantas untuk diselisihi. Sebab, seorang makmum masbuq yang memasuki shalat sebagaimana yang diperintahkan dan pada saat itu tidak ada sutrah baginya, maka keadaannya seperti orang yang menjadikan binatang ternaknya sebagai sutrah, lalu binatang itu lepas. Keadaan dia yang demikian ini tidaklah digolongkan sebagai orang yang meremehkan perintah menegakkan sutrah.

Akan tetapi, jika dia mempunyai kemudahan membuat sutrah, agar tidak menjatuhkan orang yang lewat ke dalam dosa, maka dia wajib membuat sutrah. Jika tidak mudah baginya untuk membuat sutrah, maka dia berusaha menolak orang yang melewati depannya.”[5]

Seorang makmum masbuq (tertinggal satu raka’at atau lebih dalam shalat berjama’ah) maka baginya diperbolehkan mendekat ke tempat yang dapat dijadikan sutrah setelah imam salam, baik ke depan, ke sisi kanan atau ke sisi kiri, jika jaraknya dekat. Dan jika agak jauh maka baginya tetap berdiri dan berusaha menghindar dari orang yang melewatinya. Hal ini dikarenakan pada asalnya seorang makmum yang masbuq seharusnya tetap shalat sebagaimana yang diperintahkan, dan dalam kondisi demikian tidak wajib baginya sutrah sebagaimana seorang yang menjadikan tunggangannya sebagai sutrah lalu tunggangannya menjauhinya, maka dalam kondisi demikian bukan kesalahannya. Sebagaimana yang dinukil az-Zarqaani dari Imam Malik. (Lihat, Syarah aj-Jarqaani ‘ala Muhtashar Khalil, 1/208)[6]

[1] HR. Ahmad dan An Nasa’ i. Maknanya bagi Bukhari dari hadits Ibnu Umar.

[2] Nailul Authar, 2/651

[3] Mukhtashar Sahih Muslim, hlm. 75.

[4] Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim Al Jauziyah, 2/295

[5] Al Qoulul Mubin fii Akhtail Mushallin, Abu Ubaidillah Masyhur bin Hasan, hlm 78-79

[6] www.alsofwah.or.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.