HUKUM SUTRAH
Maryolitas ulama’ berpendapat disukainya sutrah sebagai pembatas antara seseorang yang sedang mendirikan shalat dengan kiblat, hanya mereka berbeda pendapat dalam hal apakah hukumnya wajib atau tidak? Dan apakah sutrah dengan menggunakan garis telah mencukupi?
Berkaitan dengan permasalahan ini, para ulama’ berbeda pendapat. Sebagaian di antara mereka mengatakan hukum sutrah adalah wajib dan sebagaian yang lainnya mengatakan sunnah.
Wajib
Hukumnya wajib shalat menghadap sutrah, dan tiada bedanya baik di masjid maupun selain masjid, di masjid yang besar atau yang kecil, berdasarkan kepada keumuman sabda Nabi.
Kewajiban ini dikuatkan oleh alasan syar’i dengan tidak batalnya shalat seseorang karena dilewati oleh perempuan baligh, keledai atau anjing hitam dan dilarangnya seseorang lewat di depan. Hukum wajibnya membuat sutrah ini dipilih asy-Syaukani dalam Nailul Authar (III/2) dan as-Sail al-Jarrar (I/176). Inilah yang diutarakan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (IV/8-15) [1]
Imam asy-Syaukani mengomentari hadits Abu Sa’id a di atas: “Dalam hadits tersebut mengandung dalil, bahwa membuat sutrah dalam shalat adalah wajib.” [2]
Dia juga berkata dalam As-Sailul Jarraar (1/176): “Kebanyakan hadits yang mencakup perintah membuat sutrah, dan dhahir dari perintah itu menunjukkan wajib. Jika didapati dalil yang memalingkan perintah wajib ini kepada sunnah, maka hukumnya menjadi sunnah. Tidaklah benar untuk dijadikan sebagai dalil yang memalingkan, yaitu sabda beliau: “Sesungguhnya sesuatu yang lewat di hadapannya tidak membahayakan.” Karena seseorang yang shalat itu wajib menjauhi sesuatu yang membahayakannya dalam shalat atau menghilangkan sebagian pahalanya.
Di antara yang menguatkan wajibnya sutrah: “Sesungguhnya sutrah itu sebab syar’i, dengannya shalat seseorang tidak batal, dengan sebab lewatnya seorang wanita baligh, keledai atau anjing hitam, terdapat dalam hadits yang shahih. Dan untuk mencegah orang yang lewat di hadapannya serta hukum-hukum selain yang berkaitan dengan sutrah.[3]
Salafus shalih sangat gigih dalam membuat sutrah untuk shalat. Datang perkataan dan perbuatan mereka yang menunjukkan bahwa mereka sangat gigih dalam menegakkan, memerintahkan sutrah dan mengingkari orang yang shalat tidak menghadap kepada sutrah.
Qurrah bin ‘Iyas berkata: “Umar telah melihat saya ketika saya sedang shalat di antara dua tiang, maka dia memegangi tengkuk saya, lalu mendekatkan saya kepada sutrah. Maka dia berkata: “Shalatlah engkau dengan menghadap kepadanya.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Dengan itu Umar menginginkan agar dia shalat menghadap sutrah.”
Ibnu Umar berkata: “Jika seorang dari kalian shalat, hendaklah dia menghadap sutrah dan mendekatinya, agar syetan tidak lewat di depannya.”
Ibnu Mas’ud berkata: “Empat perkara dari perkara yang sia-sia: Seseorang shalat tidak menghadap sutrah… atau mendengar orang yang adzan, tetapi dia tidak memberikan jawaban.”[4]
Ibnu at-Tirkamani berkata: “Saya katakan bahwa: Tidak adanya dinding tidak mengharuskan meniadakan sutrah. Sementara saya tidak tahu apa sisi pendalilan dari riwayat Malik tersebut yang menunjukkan bahwa beliau shalat tidak menghadap sutrah.”
Dari uraian di atas maka penulis buku al-Qaulul Mubin fi Akhthail Mushallin berkata: Nyatalah bagi kami dengan jelas, kesalahan orang yang shalat tidak meletakkan di hadapannya atau menghadap ke sutrah, walaupun dia aman dari lalu lalangnya manusia, atau dia berada di tanah lapang. Tidak ada bedanya antara di kota Makkah atau tempat lainnya dalam hukum sutrah ini secara mutlak.[5]
Sunah Mu’akkad
Dalam Fiqhul Islam, DR. Wahbah Zuhaili menyebutkan: Hukum sutrah sunnah yang disyari’atkan, Dari Abu Sa’id al-Khudri dia berkata: Rasulullah bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلْيَدْنُ مِنْهَا، وَلاَ يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا، فَإِنْ جَاءَ أَحَدٌ يَمُرُّ فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّهُ شَيْطَانٌ
Artinya: “Jika salah seorang dari kalian shalat hendaklah menghadap kepada sutrah dan hendaklah dia mendekat ke sutrah. Janganlah engkau membiarkan seorang pun lewat di antara engkau dengan sutrah. apabila ia enggan maka perangilah karena sesungguhnya dia itu adalah syetan.” (HR. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf (1/279), Abu Dawud di dalam as-Sunan no. (297), Ibnu Majah di dalam as-Sunan no. (954), Ibnu Hibban di dalam ash-Shahih (4/ 48-49 al-Ihsan), al-Baihaqi di dalam as-Sunanul-Kubra (2/ 267). Dan sanadnya hasan)
Kesepakatan Fuqoha, hukum sutrah bukan wajib, karena perkara ini dijadikan sebagai sunnah, tidak ditetapkan dari tiadanya batallah shalat. Bukan syarat dalam shalat. Para salaf tidak mewajibkannya, walaupun wajib mereka tidak melazimkannya, karena mendapat dosa orang yang lewat di depannya. Jika wajib maka orang yang shalatpun menjadi berdosa pula, dan karena “Nabi shalat di tanah lapang yang tidak ada sesuatu di depannya.” (HR. Bukhari)[6]
Syaikh al-Utsaimin mengatakan: “Sutrah dalam shalat adalah sunnah muakkad kecuali bagi makmum, maka ia tidak disunnahkan mengambil sutrah. Sudah cukup dengan sutrahnya imam.”[7]
Shalat menghadap kepada sutrah sunnah hukumnya, baik mukim maupun safar, fardhu atau sunnah, di masjid maupun di tempat lain; karena keumuman hadits:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ، فَلْيَدْنُ مِنْهَا
Artinya: “Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sutrah, hendaklah ia mendekatinya..”
Dan apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abi Juhaifah bahwa Nabi menancapkan tongkat dan mendekat padanya serta shalat dzuhur dua rakaat, lewat di depannya khimar dan anjing sedangkan ia tidak ditahan.
Karena perintah sutrah adalah disunnahkan bukan diwajibkan berdasar hadits bahwa Nabi shalat bersama manusia di Mina kepada selain tembok. Dan tidak disebutkan dalam hadits untuk mengambil sutrah.[8]
Hadits dari Thalhah bin ‘Ubaidillah : Rasulullah bersabda:
إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤَخِّرَةِ الرَّحْلِ، فَلْيُصَلِّ، وَلاَ يُبَالِي مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ
Artinya: “Jika seorang diantara kamu meletakkan di hadapannya sesuatu setinggi ekor pelana (sebagai pembatas) maka shalatlah (menghadapnya), dan jangan ia pedulikan orang yang lewat di balik pembatas”. (HR. Muslim)
Pendapat Para Fuqoha
Para fuqoha mempunyai dua pendapat dalam menjadikannya mutlaq atau takut seseorang melewati depannya :
Ulama Malikiyah dan Hanafiyah berkata: Sutrah dalam shalat fardlu maupun nafilah disunahkan bagi imam dan orang yang shalat sendirian jika khawatir seseorang lewat di depan tempat sujudnya saja, sedang sutrah imam adalah sutrahnya makmum, karena Nabi di Bathha’ Makkah shalat menghadap ke tongkat kecil sedangkan kaumnya tidak mengadakannya.
Tidak mengapa meninggalkan sutrah jika seseorang yang sholat merasa aman dari orang yang lewat dan tidak menghadap jalan.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat: Disunahkan bagi orang yang shalat untuk menghadap sutrah, baik di masjid maupun di rumah, untuk shalat menghadap dinding atau tiang. Jika di tanah lapang, menurut ulama Hanabilah, hendaknya ia shalat menghadap tongkat, gundukan tanah, penghalang berupa unta atau hewan tunggangannya. Jika tidak mendapatkan maka hendaklah ia membuat garis di depannya atau membentangkan tempat sholat seperti sajadah sebagaimana disebutkan oleh ulama Syafi’iyah. Dalil mereka adalah hadits Thalhah bin Ubaidillah:
إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤَخِّرَةِ الرَّحْلِ، فَلْيُصَلِّ، وَلاَ يُبَالِي مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ
Artinya: “Jika seorang diantara kamu meletakkan di hadapannya sesuatu setinggi ekor pelana (sebagai pembatas) maka shalatlah (menghadapnya), dan jangan ia pedulikan orang yang lewat di balik pembatas”. (HR. Muslim dalam Shahih-nya no. 499)
Ulama al-Hanabilah menyebutkan: “Sesungguhnya tidak mengapa sholat di Makkah tanpa menghadap ke sutrah, sebagaimana telah diriwayatkan oleh Ahmad “Bahwasanya beliau sholat ketika itu tidak terdapat sutrah antara beliau dengan orang yang thawaf” menunjukkan seakan dikhususkan bagi Makkah.”[9]
[1] Tamamul Minnah (edisi Indonesia), Syikh Nashiuddin Al Albani, 2/35
[2] Nailul Authar (edisi Indonesia), Imam Asy Syaukani, 2/651
[3] Tamamul Minnah (edisi Indonesia), Syikh Nashiuddin Al Albani, 2/35
[4] Al Qoulul Mubin fii Akhtail Mushallin, Abu Ubaidillah Masyhur bin Hasan, hlm 78-79
[5] Al Qoulul Mubin fii Akhtail Mushallin, Abu Ubaidillah Masyhur bin Hasan, hlm 78-79
[6] Fiqhul Islami wa adillatuhu, DR. Wahbah Zuhaili, 2/939
[7] Majmu’ Fatawa (edisi Indonesia, Syaikh ‘Utsaimin, hlm.380
[8] Fatawa Allajnah Ad Daimah lil buhuts, 7/76-77
[9] Fiqhul Islam, 2/941