HIKMAHNYA
Para ulama berkata: Hikmah diadakannya sutrah itu, untuk membatasi pandangan terhadap apa yang ada di belakang sutrah, disamping untuk menghalau orang yang akan melewatinya.[1]
Menahan orang yang lewat di depan orang yang sholat, akan memutus kekhusyu’annya, menempatkan orang yang shalat pada pembatasan pikirannya dalam shalat, tidak melayangkan pandangan kepada sesuatu dan mencukupkan pandangannya di belakang sutrah agar tidak menghilangkan kekhusyu’an.[2]
Imam Nawawi mengatakan, bahwa di antara hikmah disyari’atkan sutrah: Dapat menjaga pandangan dari sesuatu yang ada di belakang sutrah, melindungi dari orang yang berusaha melewatinya.
Dikatakan oleh al-Qadhi ‘Iyad sutrah dapat menghalau syetan lewat dan menghindar dari perkara yang dapat merusak shalat.[3]
SIFAT SUTRAH DAN UKURAN SERTA BENTUKNYA
Sebagaimana termaktub dalam hadits sebelumnya bahwa pada asalnya segala sesuatu setinggi mu’aharah ar-rahl (pelana onta) dapat dijadikan sutrah. Terdapat banyak riwayat, diantara bentuk sutrah yang pernah digunakan Nabi adalah sebagai berikut:
- Shalat menghadap dinding, Nabi pernah shalat menghadap dinding masjid dan Ka’bah. (HR. Bukhari, 2/212)
- Shalat menghadap ‘Anajah (sejenis tombak atau tongkat), riwayat dari Ibnu Umar, termaktub di dalamnya lafadz ‘Anajah. (HR. Muslim, 4/218)
- Shalat menghadap Hirbah (sejenis alat yang terbuat dari besi setinggi kepala), riwayat dari Ibnu Umar. (HR. Muslim, 4/218)
- Shalat menghadap tongkat, riwayat dari Anas bin Malik. (HR. Bukhari, 1/575)
- Shalat menghadap kendaraan (onta), riwayat dari Ibnu Umar menerangkan bahwa Rasulullah shalat menghadap hewan tunggangan (onta), terdapat riwayat menjelaskan selainnya HR. Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih, 1/383.
- Shalat menghadap pohon, riwayat dari Ali bin Abi Thalib mengabarkan bahwa Rasulullah shalat menghadap pohon. (HR. an-Nasa’i dalam al-Kubra dengan sanad yang hasan; al-Fath, 1/580 dan Tuhfatul Asyraf, 7/357, 358)
- Shalat menghadap tempat tidur dan wanita sedang tidur, riwayat dari ‘Aisyah menjelaskan bahwa Nabi shalat menghadap tempat tidur sedang dia dalam keadaan tidur berbaring. (HR. al-Bukhari, 1/581; 3/201)[4]
Adapun batasannya, Nabi ditanya tentang hal ini, beliau menjawab: “Setinggi bagian belakang hewan tungangan.” (HR. Muslim)
Tapi ini bukan ukuran maksimal, kurang dari itupun sudah mencukupi. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan: “Apabila salah seorang di antara kalian sedang shalat hendaklah mengadakan pembatas meskipun dengan anak panah.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ahmad)
Ukuran panjang pelana adalah sepanjang (satu) hasta. Sebagaimana yang dijelaskan oleh ‘Atha`, Qatadah, ats-Tsaury serta Nafi’. Sehasta adalah ukuran di antara ujung siku sampai ke ujung jari tengah. Ukurannya kurang lebih: 46,2 cm.
Telah tetap, bahwa Nabi shalat menghadap ke tombak kecil dan lembing. Sebagaimana diketahui keduanya adalah benda yang menunjukkan kecilnya tempat dan ini menguatkan bahwa yang dimaksud menyamakan sutrah dengan hasta adalah pada sisi panjangnya bukan lebarnya.
Ibnu Khuzaimah berkata: “Dalil dari pengabaran Nabi bahwa sesungguhnya yang beliau inginkan dengan sutrah seperti pelana adalah panjangnya bukan lebarnya, yang tegak lagi kokoh. Diantaranya riwayat dari Nabi bahwa beliau menancapkan tombak kecil lalu shalat menghadap kepadanya. Padahal lebarnya tombak itu kecil tidak seperti lebarnya pelana.”
Dia berkata juga: “Perintah Nabi membuat sutrah dengan anak panah di dalam shalat. Hal itu sesuatu yang nyata dan tetap, bahwa beliau menginginkan dalam perintah tersebut adalah sesuatu yang ukuran panjangnya sama seperti pelana. Bukan panjang dan lebarnya secara keseluruhan.”
Berdasarkan uraian di atas, maka: Tidak boleh membuat sutrah dengan garis dalam keadaan dia mampu membuat dengan lainnya, meskipun sutrah itu berupa: tongkat, barang, kayu, atau tanah. Walaupun dia harus mengumpulkan batu-batuan, lalu menyusunnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Salamah bin al-Akwa`. Yang sangat pantas disebutkan adalah: Hadits tentang menjadikan garis sebagai sutrah adalah dha’if. Telah didha’ifkan oleh Sufyan bin Uyainah, asy-Syafi’i, al-Baghawy dan lainnya. Ad-Daruquthni berkata: “Tidak sah dan tidak tetap.” Asy-Syafi’i berkata dalam Sunan Harmalah: “Seorang yang shalat tidak boleh membuat garis di depannya, kecuali ada hadits yang tetap tentang hal itu, maka hadits itu diikuti.”
Imam Malik telah berkata dalam al-Mudawanah: “Garis itu bathil.” Dan hadits itu telah dilemahkan oleh ulama yang datang di masa akhir, seperti Ibnu Shalah, an-Nawawi, al-Iraqi serta yang lainnya.[5]
Syaikh al-Utsaimin mengatakan: Dalam hadits lain riwayat Abu Dawud dengan sanad hasan: “Barangsiapa yang tidak mendapatkannya maka hendaklah dia membuat satu garis.” Al-Hafidz Ibnu Hajar menyebutkannya dalam Bulughul Maram. Tidak benar bahwa hadits ini riwayatnya goncang (mudhtharib). Tidak ada cacatnya yang harus ditolak. Kami katakan minimal garis maksimal setinggi punggung hewan tunggangan.[6]
[1] Nailul Authar (edisi Indonesia), 2/651
[2] Fiqih Islam
[3] Dinukil dari http://www.alsofwah.or.id, Syarah Muslim, 4/216
[4] Dinukil dari http://www.alsofwah.or.id
[5] Lihat: Tamamul Minnah (edisi Indonesia), Syikh Nashiuddin Al Albani, 2/35, Ahkam as-Sutrah (hlm. 98-102), Syarah an-Nawawi atas Shahih Muslim (4/ 216), Tahdzib at-Tahdzib (12/ 199), Tarjamah (Abi ‘Amr bin Muhammad bin Harits).
[6] Majmu’ Fatawa (edisi Indonesia), Syaikh ‘Utsaimin, hlm.380