SEKILAS INFO
: - Kamis, 28-03-2024
  • 1 minggu yang lalu / Telah di buka SEDEKAH BUKA PUASA UNTUK SANTRI Darul Fithrah, mari kita raih pahala sebanyak banyaknya salah satunya dengan memberi makan dan minum orang yg berpuasa di bulan Ramadhan yg mulia ini.
  • 1 minggu yang lalu / Bulan Ramadhan adalah bulan Al Qur’an , mari kita gunakan waktu di bulan Ramadhan ini untuk memperbanyak membaca dan mentadabburi isi Al Qur’an.
  • 2 bulan yang lalu / Bingung pilih pondok Tahfidz atau pondok IT ? di Darul Fithrah kamu bisa dapat keduanya. Lebih Efektif & Efisien
ADAB SETELAH BERJIHAD | Part VII

Adab-Adab Setelah Berjihad

  1. Menempati Medan Pertempuran Selama Tiga Hari Setelah Mendapat Pertolongan atas Musuh

Anas bin Malik bercerita kepada kami tentang Abu Thalhah bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam pada perang Badar memerintahkan untuk melemparkan dua puluh empat mayat pembesar Quraisy ke dalam lubang (sumur yang terbuat dari bebatuan) diantara lubang-lubang yang ada di Badar yang sangat buruk dan menjijikkan. Jika beliau mendapatkan kemenangan melawan suatu kaum, maka beliau berdiam di tempat persinggahan selama tiga hari. Ketika Perang Badar, memasuki hari ketiga beliau memerintahkan untuk mempersiapkan hewan tunggangan beliau dan mengikatkan pelanannya lalu beliau berjalan diiringi oleh para shahabat.[1]

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani menukil perkataan Ibnu Al-Jauzi di dalam “Fathul Baari”, “Menempati medan selama tiga hari lebih dulu untuk menampakkan dampak kemenangan, menerapkan hukum, dan sedikit perayaan. Seakan-akan mengatakan kepada musuhnya, “Barang siapa di antara kalian yang masih memiliki kekuatan, maka kembalilah kepada kami.”[2]

  1. Melanjutkan Pelatihan Perang dan Tidak Qu’ud (Duduk Enggan Berjihad)

Jihad fi sabilillah akan senantiasa ada selama di bumi masih ada orang muslim dan kafir. Jika kaum muslimin menyiapkan kekuatan untuk sebuah pertempuran lalu mereka diberikan kemenangan, maka mereka diharuskan melanjutkan persiapan dan pelatihan untuk pertempuran lain dengan musuh yang lain.[3]

Namun sebagian kaum muslimin setelah mereka mendapat kemenangan beranggapan bahwa peperangan telah usai, dan mereka tidak butuh untuk mempersiapkan kekuatan, dan telah datang waktu untuk istrahat. Rasulullah telah mendustakan anggapan ini. Dari Salamah bin Nufail Al Kindi, ia berkata, “Aku pernah duduk di samping Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, lalu seseorang berkata, “Wahai Rasulullah, orang-orang telah turun dari kuda mereka, mereka meletakkan senjata mereka dan berkata bahwa tidak ada jihad lagi dan perang telah usai.” Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam lalu menghadapkan wajahnya seraya bersabda, “Mereka dusta! saat inilah, saat inilah perang telah datang, akan senantiasa ada dari umatku orang-orang yang berperang di atas kebenaran dan Allah akan menjadikan hati orang-orang condong kepada mereka, Allah akan memberi mereka rizqi dari mereka hingga datang Hari Kiamat, dan hingga datang janji Allah.”[4]

Fuqaim Al Lakhmi berkata kepada ‘Uqbah bin ‘Amir, “Kamu selalu bersungguh-sungguh antara dua target ini sedangkan kamu telah lanjut usia dan telah berat (sudah lemah).” ‘Uqbah berkata: “Seandainya saya tidak pernah mendengar sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam niscaya saya tidak akan menjaganya.” Lantas saya bertanya kepada Ibnu Syamasah, “Apa yang disabdakan beliau itu?” dia menjawab, “Beliau bersabda, ‘Tidak termasuk dari golongan kami -atau dia telah durhaka- siapa saja yang mengetahui ilmu memanah namun ia meninggalkannya.”[5]

  1. Megubur Jenazah Kaum Muslimin di Tempat Peperangan

Sunnah menjelaskan bahwa penguburan orang-orang yang gugur dalam perang adalah di tempat mereka meninggal, bukan memindahkannya di kuburan, meskipun jaraknya dekat. Kecuali dalam keadaan darurat.

Para shahabiyah yang ikut membantu dalam peperangan mengira bahwa memindahkan orang yang gugur ke kuburan merupakan sunnah, maka mereka memindahkan sebagian jenazah dan orang-orang yang terluka ke Madinah, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz, ia berkata, “Kami ikut berperang bersama Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dimana kami memberi minum pasukan, melayani mereka dan membawa pulang yang terluka dan yang gugur ke Madinah.”[6]

Maka ketika Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengetahuinya, beliau memerintahkan memindahkan para jenazah ke tempat mereka meninggal, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdullah bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang-orang yang terbunuh dalam perang Uhud agar dikembalikan ke tempat mereka terbunuh, padahal mereka telah dipindahkan ke Madinah.[7]

  1. Memuliakan Pemimpin Negeri yang Ditaklukkan Untuk Melunakkan Hati Mereka

Para mujahid sepatutnya memberi kesan kepada penduduk negeri yang dikuasai dan ditaklukkan bahwa tidaklah para mujahid menaklukkan untuk menghinakan dan merendahkan mereka, akan tetapi para mujahid berjihad untuk meninggikan kalimat Allah, dan hal itu merupakan barakah dan kebaikan untuk mereka. Hal yang nampak adalah dengan memuliakan pemimpin suatu negeri hingga menjadikan hati mereka tenang terhadap para mujahid dan hati mereka terbuka terhadap Islam. Sebagaimana yang dilakukan Rasulullah ketika memasuki kota Makkah (ketika penaklukkan kota Makkah). Rasulullah memberi kesan kepada para penduduknya bahwa beliau tidak datang untuk menghukum dan menghancurkan rumah mereka. Karena dasar kebencian atas apa yang mereka lakukan terhadap Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya sebelum hijrah berupa menyakiti, memfitnah dan menguasai mereka.[8] Oleh karena itu, Rasulullah memerintahkan agar menyeru kepada penduduk Makkah bahwasannya barang siapa masuk ke rumah Abu Sufyan maka dia aman, barang siapa meletakkan senjatanya maka dia aman, dan barangsiapa menutup pintunya maka dia aman.[9]

Rasulullah juga memuliakan Abu Sufyan dengan memberikan kedudukan barang siapa yang memasuki rumahnya maka dia aman, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pada saat penaklukan Mekkah beliau didatangi Al-Abbas bin Abdul Muththalib dengan membawa Abu Sufyan bin Harb, kemudian Abu Sufyan masuk Islam di daerah Marru Adh-Dhahran. Al-Abbas berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang senang di banggakan, seandainya anda memberikan sesuatu kepadanya maka lakukanlah.” Beliau berkata, “Ya, barangsiapa yang memasuki rumah Abu Sufyan maka ia aman dan barangsiapa yang menutup pintu rumahnya maka ia aman.”[10]

[1] HR. Bukhari: 3679.

[2] Ibnu Hajar Al-‘Ashqalani, Fathul Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari, (Cet. I, Damaskus: Dar Ar-Risalah Al-‘Alamiyah, 1434 H/2013 M), vol. 9, hlm. 308.

[3] Abdullah bin Ahmad Al-Qadiri, Al-Jihad fi Sabilillah Haqiqatuhu wa Ghayatuhu, (Cet. II, Jeddah: Dar Al-Manarah, 1413 H/1996 M), vol. 1, hlm. 260.

[4] HR. Nasa’i: 3505.

[5] HR. Muslim: 3543.

[6] HR. Bukhari: 2670, Ahmad: 25775.

[7] HR. Nasa’i: 1977.

[8] Abdullah bin Ahmad Al-Qadiri, Al-Jihad fi Sabilillah Haqiqatuhu wa Ghayatuhu, (Cet. II, Jeddah: Dar Al-Manarah, 1413 H/1996 M), vol. 1, hlm. 269.

[9] HR. Muslim: 3332.

[10] HR. Abu Daud: 2626.

TINGGALKAN KOMENTAR

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Arsip