SEKILAS INFO
: - Jumat, 04-10-2024
  • 2 bulan yang lalu / Pengambilan Sanad Al Qur’an Qira’ah Imam Ibnu katsir (Riwayat Al Bazzi & Qunbul) Online bersama Ust Khoirul H. Faturrozy, info hub. 089667586200  
  • 8 bulan yang lalu / Bingung pilih pondok Tahfidz atau pondok IT ? di Darul Fithrah kamu bisa dapat keduanya. Lebih Efektif & Efisien
  • 1 tahun yang lalu / Penerimaan Santri Baru ponpes Darul Fithrah resmi di buka
ADAB KETIKA BERJIHAD | Part VI

Adab-Adab Ketika Berjihad

  1. Menguatkan Hati dan Pantang Mundur Menghadapi Musuh

Ketika perang sedang berkecamuk, para mujahid haruslah menguatkan hati dan pantang mundur menghadapi musuhnya, jika menurut perhitungan kekuatan musuh memang bisa ditandingi. Allah Ta‘âla berfirman, “Wahai, orang-orang yang beriman! Apabila kamu bertemu pasukan (musuh), maka berteguh hatilah dan sebutlah (nama) Allah banyak-banyaknya (berzikir dan berdoa) agar kamu beruntung.”[1]

Jika tentara muslim memperkirakan bahwa mereka tidak mampu menghadapi kekuatan musuh dan mereka memperkirakan akan kalah dan terbunuh, tentara muslim diperbolehkan melarikan diri menghindari musuh dan bergabung dengan kaum muslimin lain yang akan membantunya. Dalam hal ini, jumlah (kuantitas) tidak menjadi pertimbangan. Apabila seorang muslim tidak bersenjata bertemu dengan dua musuh yang bersenjata atau seorang musuh bersenjata, dia boleh melarikan diri. Apabila dia sedang sakit atau tidak berdaya juga boleh menghindari pertemuan dengan musuh. Allah Ta‘âla berfirman, “Wahai, orang yang beriman! Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang akan menyerangmu, maka janganlah kamu berbalik membelakangi mereka (mundur). Dan barangsiapa yang mundur pada waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sungguh, orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah. Tempatnya ialah neraka Jahanam, dan seburuk-buruk tempat kembali.”[2]

  1. Tidak Membunuh Orang-Orang yang Tidak Ikut Berperang

Dalam peperangan, diperbolehkan membunuh semua pihak musuh yang ikut berperang, baik yang berstatus sebagai pencetus perang, pengatur strategi, maupun tentara di lapangan. Adapun yang tidak boleh dibunuh adalah orang-orang yang tidak ikut berperang, seperti kaum wanita, anak-anak kecil, orang gila, orang tua renta, orang yang sedang sakit hingga tidak bisa berdiri, lumpuh, orang buta, orang yang terpotong tangan dan kakinya secara menyilang, yang terpotong tangan kanannya, orang yang berpenyakit ayan, rahib Yahudi yang berada di dalam sinagog, orang-orang yang berkumpul dalam rumah atau gereja dan merasa takut, orang yang tidak mampu berperang, para petani yang sedang di sawah, kecuali jika mereka menyerang tentara muslim, baik dengan menggunakan lisan, tindakan, pemikiran, atau pun bantuan dana.[3]

Dasar hukumnya adalah ketika Perang Hunain, seorang tentara muslim bernama Rabi’ah bin Rafi’ as-Sulami bertemu dengan Duraid bin ash-Shimmah lalu Rabi’ah membunuhnya, padahal Duraid adalah orang kafir yang sudah tua renta, umurnya sudah melewati seratus tahun, meskipun demikian, pemikirannya masih banyak dimanfaatkan (oleh pihak musuh). Kabar pembunuhan ini lalu sampai kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak mengingkari pembunuhan tersebut.[4]

Diperbolehkan juga membunuh wanita jika ia termasuk pimpinan pihak musuh sebab dengan membunuhnya, tentara musuh akan tercerai berai. Begitu juga apabila pimpinan mereka masih kecil dan ia diajak tentaranya ke tengah medan perang, tidaklah apa-apa membunuh anak kecil tersebut jika dapat menyebabkan kacaunya pihak musuh.[5]

Adapun dalil tidak boleh membunuh orang kafir jika mereka tidak ikut berperang adalah sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik, bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. bersabda, “Pergilah kalian dengan menyebut nama Allah dan bersama Allah, dan berada di atas agama Rasulullah. Janganlah kalian membunuh orang yang sudah tua, bayi, anak-anak kecil, dan wanita. Janganlah kalian curang mengambil rampasan perang sebelum dibagi. Kumpulkanlah rampasan perang kalian. Lakukanlah hal yang membuahkan kemaslahatan dan berbuat baiklah. Sesungguhnya, Allah Subhânahu wa Ta‘âla menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.”[6]

  1. Menjaga Kaum Muslimin yang Terluka dan Terbunuh

Mujahidin harus memiliki kelompok khusus yang membantu para prajurit untuk menyiapkan makanan dan minuman, mengobati orang-orang yang terluka dan memindahkannya dari tempat yang ditakutkan terbunuh oleh musuh ke tempat yang lebih aman, dan memindahkan orang-orang yang terbunuh supaya tidak dimutilasi oleh musuh.[7]

Tugas ini diemban orang-orang yang tidak terbebani kewajiban perang. Pada zaman Rasulullah, para shahabiyah yang mengerjakan tugas ini.[8] Dari Anas radliyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ketika perang Uhud berkecamuk, orang-orang melarikan diri dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Dia berkata, “Sungguh aku melihat ‘Aisyah binti Abu Bakar dan Ummu Sulaim berjalan dengan cepat hingga terlihat gelang kaki keduanya sambil membawa qirab (tempat ait terbuat dari kulit). Perawi lain berkata, “mengangkut qirab, dengan selendang keduanya lalu menuangkan ke mulut para pasukan. Kemudian keduanya kembali untuk mengisi air ke dalam qirab kemudian kembali datang menuangkan air ke mulut pasukan.”[9]

Dan dari Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz, ia berkata, “Kami ikut berperang bersama Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam di mana kami memberi minum pasukan, melayani mereka dan membawa pulang yang terluka dan yang gugur ke Madinah.”[10] Dan dari Ummu ‘Athiyah Al-Anshariyah dia berkata, “Aku pernah ikut berperang bersama-sama dengan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam sebanyak tujuh kali peperangan, aku tinggal di perkemahan mereka, memasak makanan untuk mereka, mengobati yang luka dan merawat orang-orang yang sakit.”[11]

  1. Menyombongkan Diri Ketika Berperang

Di antara adab berjihad adalah menyombongkan diri di medan pertempuran. Maksudnya adalah rasa bangga mujahid kepada dirinya ketika berperang untuk memberi kesan kepada musuh akan tingginya semangat dan keberanian mereka, serta kesiapan mereka menghadapi kematian dengan hati yang tabah dan tenang. Hal ini merupakan perbuatan yang membangkitkan amarah dan menyebarkan teror untuk orang-orang kafir. Sedangkan kedua hal tersebut merupakan perbuatan yang ditulis Allah sebagai ibadah.[12]

Menyombongkan diri ketika berperang memiliki dua bentuk;

Pertama, menampakkan kesabaran kepada musuh, meskipun seorang mujahid tersebut sedang lemah karena sakit, lapar, haus atau kerena sudah tua. Untuk menunjukkan kekuatan kepada musuh sehingga merasa takut.

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani[13] mengatakan, “Diperbolehkan menampakkan kekuatan dengan perlengkapan dan senjata dan sebagainya kepada orang-orang kafir sebagai bentuk teror kepada mereka. Hal tersebut tidak termasuk riya’ yang tercela.

Kedua, berjalan dengan rasa bangga dan sombong kepada dirinya di depan musuh untuk menunjukkan kemuliaannya. Dari Jabir bin ‘Atik bahwa Nabi Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “…Dan diantara rasa bangga ada yang Allah benci dan diantara rasa bangga ada yang Allah cintai, adapun rasa bangga yang Allah ‘Azza wa Jalla cintai adalah rasa bangga seseorang kepada dirinya ketika berperang dan bersedekah, sedangkan rasa bangga yang Allah ‘Azza wa Jalla benci adalah rasa bangga dalam kebatilan.”[14]

  1. Tidak keluar dari Pasukan Mujahidin Tanpa Izin Amir

Allah Ta‘âla berfirman, “Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya.”

Ibnu Jarir Ath-Thabari[15] mengatakan di dalam tafsirnya, “Allah Ta‘âla menyebutkan; Tidaklah seorang mukmin benar imannya kecuali orang-orang yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam suatu urusan yang memerlukan pertemuan seperti perang yang diikuti, shalat berjamaah atau musyawarah dalam suatu perkara, mereka tidak pergi atau berpaling dari pertemuan untuk suatu perkara, hingga meminta izin kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam.”[16]

Jika seorang amir berperang, maka tidak boleh bagi seorang pun memberi makan hewan, mencari kayu bakar, dan tidak keluar dari pasukan kecuali dengan izin amir. Karena amir lebih mengerti tentang keadaan orang-orang, keadaan musuh, tempat mereka, serta jarak mereka.[17]

  1. Menahan Diri dari Musuh yang Menampakkan Syiar Islam

Jika sebagian orang kafir di tengah pertempuran menampakkan kalimat yang menunjukkan keislaman, seperti dua kalimat syahadat, atau dia berkata, “Aku seorang muslim”, mengucapkan salam dan sebagainya, maka kaum muslimin wajib untuk menahan diri darinya dan tidak membunuh atau memeranginya.

Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu, “Kamu bukan seorang mukmin” (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[18]

Al-Qurthubi[19] ketika menafsirkan ayat tersebut mengatakan, “Seorang muslim jika bertemu seorang kafir yang tidak terikat perjanjian diperbolehkan untuk membunuhnya. Jika orang kafir tersebut mengatakan, “La ilaha illallah” maka tidak diperbolehkan membunuhnya. Karena sesungguhnya dia telah berlindung di bawah naungan Islam yang melindungi darah, harta, serta keluarganya. Jika seorang muslim membunuhnya setelah berbuat demikian, maka dia harus dibunuh (qishash). Adapun qishash tersebut gugur kepada mereka -yaitu sebagian sahabat yang membunuh orang yang mengucapkan salam-, karena hal tersebut terjadi di permulaan Islam, dan mereka mentakwilkan orang tersebut mengatakan salam karena mencari perlindungan dan takut akan senjata, dan orang yang terlindungi darahnya adalah yang hatinya tenang ketika mengatakannya, maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwasannya darahnya tetap terlindungi bagaimana pun dia mengatakannya. Oleh karena itu Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Usamah, “Sudahkah kamu membelah dadanya sehingga kamu tahu dia benar-benar mengucapkan Kalimah Syahadat atau tidak?”[20] Yaitu lihatlah apakah dia jujur di dalam perkataannya ataukah bohong. Hal tersebut tidak mungkin kecuali lisannya menjelaskannya.”[21]

  1. Tidak Merusak Pohon atau Bangunan

Di antara etika perang dalam Islam adalah mengharamkan berbuat keruskan di muka bumi, dengan cara menghancurkan sumber-sumber kehidupan dan meluluhlantahkan segala yang dibutuhkan manusia, yang sama sekali tidak perlu untuk diperangi. Misalkan, menebang pohon, membakar sawah, menghancurkan rumah, meruntuhkan bangunan, mengotori air minum, dan hal-hal lain yang dilakukan oleh sebagian pasukan perang sebagai bentuk kedengakian dan dendam terhadap musuh-musuhnya, padahal mereka tidak perlu melakukannya.[22]

Oleh karena itu, khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq radhiyallahu ‘anhu berwasiat kepada pasukan yang di kirim ke negeri Syam, “Jangan sekali-kali kamu membunuh wanita, anak-anak dan orang yang sudah tua. Jangan memotong pohon yang sedang berbuah, jangan merobohkan bangunan, jangan menyembelih kambing ataupun unta kecuali hanya untuk dimakan, jangan membakar pohon kurma atau menenggelamkannya, dan janganlah berbuat ghulul atau menjadi seorang yang penakut.”[23]

Diperbolehkan membakar benteng musuh dengan api apabila kondisi darurat perang menuntut untuk itu. Begitu juga menenggelamkannya ke dalam air, merobohkan, atau menghancurkannya. Boleh juga memotong pepohonan dan merusak tanaman mereka jika memang menuntut untuk itu. Diperbolehkan juga menyerang benteng musuh dan menghancurkannya dengan manjanik (katapel raksasa) atau senjata-senjata berat modern lainnya.[24]

  1. Tidak Merampas dan Menjarah

Di antara adab berperang dalam Islam adalah mendidik tentara-tentara Islam agar selalu mengusahakan yang halal, dan mensucikan diri mereka dari makanan dan minuman yang haram. Pasukan muslim tidak boleh mengonsumsi sesuap pun dari barang haram, dengan berkeyakinan bahwa jihad akan menghapuskan segala kesalahan mereka.[25] Dalam hal ini Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam melarang tindakan merampas dan menjarah dalam masa-masa peperangan.

Dari Tsa’labah bin Al Hakam dia berkata, “Kami mendapati kambing milik musuh lalu merampasnya, kemudian kami meletakkannya di periuk-periuk kami. Ketika Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam melewati periuk-periuk itu, beliau memerintahkan untuk menumpahkannya, maka seluruh isinya ditumpahkan. Beliau kemudian bersabda, ‘Sesungguhnya barang rampasan itu tidak halal.”[26]

  1. Tidak Membunuh Musuh dengan Api atau Memutilasi

Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwa dia berkata, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengutus kami dalam pengiriman pasukan, maka Beliau bersabda, ‘Jika kalian menemukan si fulan dan si fulan maka bakarlah keduanya dengan api’. Kemudian Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika kami hendak berangkat (keesokan harinya), ‘Sungguh aku telah memerintahkan kalian agar membakar si fulan dan si fulan dan sesungguhnya tidak boleh ada yang menyiksa dengan api kecuali Allah, maka itu, bila kalian menemukan keduanya maka bunuhlah keduanya.”[27]

Dan dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya dia berkata, “Apabila Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengangkat seorang panglima atau komandan pasukan perang, beliau selalu mewasiatkan untuk selalu bertakwa kepada Allah, kemudian beliau bersabda, “Berperanglah dengan nama Allah untuk menegakkan di jalan Allah, perangilah orang-orang yang kafir kepada Allah, berperanglah kalian dan janganlah kalian menipu (dalam harta rampasan), jangan kalian mengkhianati janji, jangan membunuh seseorang dengan cara memutilasi, dan janganlah membunuh anak-anak.”[28]

  1. Tidak Mengkhianati Perjanjian

Di dalam etika perang dan jihad dalam Islam adalah keharusan untuk memenuhi perjanjian yang dibuat oleh umat muslim dengan pihak tertentu dan berkomitmen terhadap segala yang telah disepakati, serta mengharamkan berbagai tindakan pengkhianatan dan menganggapnya sebagai sifat kemunafikan dan akhlak kaum kafir. Demikian pula Islam melarang perbuatan khianat dalam segala amanah, baik bersifat materi maupun moral.[29]

Islam tidak membolehkan kaum muslimin memutuskan perjanjian kecuali dalam kondisi tertentu, yaitu ketika pihak lain melanggarnya, atau khawatir terjadi pengkhianatan darinya terhadap janji tersebut, dan tanda-tanda ke arah sana -baik ucapan atau perbuatan- sudah sangat jelas. Dalam kondisi ini, perjanjian tersebut harus diputuskan secara terbuka, terang-terangan dan tanpa penipuan. Tidak diperbolehkan memutuskan perjanjian secara sembunyi-sembunyi. Sehingga pada saat-saat tertentu langsung memutuskannya secara tiba-tiba.[30]

  1. Bersikap Baik kepada Tawanan

Islam secara tegas mewajibkan perlakuan terhormat, memelihara hak-hak dan kewajiban, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam memperlakukan para tawanan. Al-Qur’an memandang tawanan sebagai kelompok lemah yang layak dikasihani dan diperlakukan dengan baik.[31]

Yang dilakukan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam ketika menghadapi tawanan perang adalah beliau terkadang melepaskan sebagian tawanan, membunuh sebagian yang lain, dan meminta tebusan kepada sebagian mereka, baik dengan tebusan harta maupun dengan tawanan muslim. Keputusan mengenai tawanan perang disesuaikan kemaslahatan umum umat Islam dan yang dirasa sesuai dengan kondisi umat Islam.[32]

[1] QS. Al-Anfal: 45.

[2] QS. Al-Anfal: 15-16.

[3] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuh, (Cet. II, Damaskus: Dar Al-Fikr, 1405 H/1985 M), vol. 6, hlm. 421.

[4] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam…

[5] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam…

[6] HR. Abu Daud: 2247.

[7] Abdullah bin Ahmad Al-Qadiri, Al-Jihad fi Sabilillah Haqiqatuhu wa Ghayatuhu, (Cet. II, Jeddah: Dar Al-Manarah, 1413 H/1996 M), vol. 1, hlm. 223.

[8] Abdullah bin Ahmad Al-Qadiri, Al-Jihad…

[9] HR. Bukhari: 2667.

[10] HR. Bukhari: 2670, Ahmad: 25775.

[11] HR. Muslim: 3380.

[12] Abdullah bin Ahmad Al-Qadiri, Al-Jihad fi Sabilillah Haqiqatuhu wa Ghayatuhu, (Cet. II, Jeddah: Dar Al-Manarah, 1413 H/1996 M), vol. 1, hlm. 226.

[13] Ibnu Hajar Al-‘Asqalani lahir pada tahun 773 H/1372 M, dan wafat pada tahun 852 H/1449 M. Beliau adalah seorang ahli hadits dari mazhab Syafi’i yang terkemuka. Nama lengkapnya adalah Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar, namun lebih dikenal sebagai Ibnu Hajar Al-Asqalani dikarenakan kemasyhuran nenek moyangnya yang berasal dari Ashkelon, Palestina. Salah satu karyanya yang terkenal adalah kitab Fathul Bari (Kemenangan Sang Pencipta), yang merupakan penjelasan dari kitab Shahih milik Imam Bukhari dan disepakati sebagai kitab penjelasan Shahih Bukhari yang paling detail yang pernah dibuat.

[14] HR. Abu Daud: 2286.

[15] Ath-Thabari adalah seorang sejarawan dan pemikir muslim dari Persia, lahir di daerah Amol, Thabaristan (sebelah selatan Laut Kaspia). Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib Al-Amali Ath-Thabari, lebih dikenal sebagai Ibnu Jarir atau Ath-Thabari. Semasa hidupnya, beliau belajar di kota Ray, Baghdad, kemudian Syam dan juga di Mesir. Di antara karyanya yang terkenal adalah Tarikh Ar-Rusul wa Al-Muluk (Sejarah Para Nabi dan Para Raja), atau lebih dikenal sebagai Tarikh Ath-Thabari. Kitab ini berisi sejarah dunia hingga tahun 915, dan terkenal karena keakuratannya dalam menuliskan sejarah Arab dan Muslim. Karya lainnya yang juga terkenal berupa tafsir Quran bernama Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an yang juga lebih dikenal dengan Tafsir Ath-Thabari, yang sering digunakan sebagai sumber oleh pemikir muslim lainnya, seperti Al-Baghawi, As-Suyuthi dan juga Ibnu Katsir.

[16] Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an, (Cet. I, Muassasah Ar-Risalah, 1420 H/2000 M), vol. 19, hlm. 228.

[17] Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Mughni li Ibni Qudamah, (Cet. I, Kairo: Maktabah Al-Qahirah, 1389 H/1969 M), vol. 9, hlm. 216.

[18] QS. An-Nisa’: 94.

[19] Al-Qurthubi adalah seorang imam, ahli hadits, alim, dan seorang mufasir Al-Qur’an yang terkenal. Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr Al-Anshari Al-Qurthubi. Berasal dari Qurthub (Cordoba, Spanyol) dan mengikuti mahzab fiqih Maliki. Imam Qurthubi meninggal dunia dan dimakamkan di Mesir, pada Senin, 9 Syawal tahun 671 H. Karya Imam Qurthubi yang paling terkenal adalah sebuah tafsir Al-Qur’an yang diberinya judul”Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an” atau yang lebih dikenal sebagai Tafsir Al-Qurthubi. Kitab tafsir ini merupakan salah satu tafsir terbesar dan terbanyak manfaatnya dalam sejarah Islam. Di dalamnya, penulis memfokuskan dalam menetapkan hukum-hukum Al-Qur’an, melakukan istinbath atas dalil-dalil, menyebutkan berbagai macam qira’at, i’rab, nasikh dan mansukh.

[20] HR. Muslim: 140.

[21] Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, (Kairo: Dar Al-Kutub Al-Mishriyah, 1384 H/1964 M), vol. 5, hlm. 338.

[22] Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh Al-Jihad, (Cet. IV, Kairo: Maktabah Wahbah, 1435 H/2010 M), vol. 1, hlm. 768.

[23] Muwaththa’ Malik 858

[24] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuh, (Cet. II, Damaskus: Dar Al-Fikr, 1405 H/1985 M), vol. 6, hlm. 423.

[25] Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh Al-Jihad, (Cet. IV, Kairo: Maktabah Wahbah, 1435 H/2010 M), vol. 1, hlm. 771.

[26] HR. Ibnu Majah: 3928.

[27] HR. Bukhari: 2793.

[28] HR. Muslim: 3261.

[29] Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh Al-Jihad, (Cet. IV, Kairo: Maktabah Wahbah, 1435 H/2010 M), vol. 1, hlm. 764.

[30] Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh Al-Jihad…, hlm. 766.

[31] Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh Al-Jihad…, vol. 2, hlm. 919.

[32] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuh, (Cet. II, Damaskus: Dar Al-Fikr, 1405 H/1985 M), vol. 6, hlm. 421.

TINGGALKAN KOMENTAR

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.