“Generasi hari ini terlalu sibuk ingin viral, sampai lupa jadi bermanfaat. Jangan-jangan yang viral-viral itu… cuma buih.”
Di era media sosial hari ini, mudah sekali bagi seseorang untuk dikenal. Satu video lucu, satu konten heboh, satu tindakan nyeleneh, dan ribuan bahkan jutaan orang bisa langsung tahu namamu. Tapi pernahkah kita bertanya: apakah ketenaran itu manfaat? Atau hanya buih?
Al-Qur’an memberikan gambaran yang sangat tajam dan relevan dalam surah Ar-Ra’d ayat 17:
أَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌۢ بِقَدَرِهَا فَٱحْتَمَلَ ٱلسَّيْلُ زَبَدًا رَّابِيًا
“Allah menurunkan air dari langit, lalu mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, lalu arus itu membawa buih yang mengambang…”
وَأَمَّا مَا يَنفَعُ ٱلنَّاسَ فَيَمْكُثُ فِى ٱلْأَرْضِ
“adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi.”
فَأَمَّا ٱلزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَآءً
“adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya.”
(QS Ar-Ra’d: 17)
Perhatikan baik-baik perumpamaan itu. Air hujan mengalir deras, tapi justru yang paling mudah terlihat di permukaan hanyalah buih. Ringan. Mengambang. Tapi kosong.
Sedangkan logam, yang berat, berharga, dan bermanfaat, justru tidak mencolok. Ia diam, tapi menyumbang manfaat.
Fenomena anak muda hari ini seringkali seperti buih. Ramai, viral, trending. Tapi apa yang dibawa dari semua itu? Apakah ada ilmu? Apakah ada manfaat? Ataukah hanya kesenangan sesaat?
Sayangnya, banyak yang bangga melihat anak muda viral, meski tanpa isi. Padahal bisa jadi itu justru pertanda bahaya. Karena“yang terlihat belum tentu yang terpenting.” Bahkan bisa jadi yang ramai dan viral itu justru yang paling ringan dan mudah lenyap.
Belajar dari Pemuda dalam Kisah Musa dan Khidir
Dalam kisah Nabi Musa ketika mencari Khidir, Al-Qur’an menyebut adanya seorang pemuda yang menemaninya.
diawal cerita pemuda tadi bahkan tidak di sebutkan namanya, di Quran hanya disebutkan kata fataahu (Pemudanya Musa) sebanyak dua kali.
kemudian setelah nabi Musa bertemu gurunya anak muda tadi hilang kisahnya. bahkan di Qur’an kalimat isyarat saja tidak ada.
Para Ulama Tafsir pun menafsirkan, ini menunjukan bahwa tidak penting bagi anak muda untuk pingin terkenal (viral). jadilah pemuda yang bermanfaat dan dekat dengan orang berilmu serta tidak perlu pingin terkenal.
Jadilah Logam, Bukan Buih
Buih itu tidak punya akar. Ia mudah terombang-ambing oleh angin. Angin tren. Angin budaya. Angin Korea. Angin Barat. Dan akhirnya, mudah goyah jiwanya, sedih tanpa arah, lelah tanpa alasan, kosong tanpa tujuan.
Sebaliknya, logam tetap kokoh. Ia melewati panasnya api, lalu menjadi kuat. Ia mungkin tidak bersinar terang, tapi keberadaannya memberi manfaat nyata. Seperti sabda Nabi SAW :
لَا تَكُونُوا إِمَّعَةً تَقُولُونَ: إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَحْسَنَّا، وَإِنْ ظَلَمُوا ظَلَمْنَا، وَلَكِنْ وَطِّنُوا أَنْفُسَكُمْ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَنْ تُحْسِنُوا، وَإِنْ أَسَاءُوا فَلَا تَظْلِمُوا
“Janganlah kalian menjadi orang yang suka ikut-ikutan, yang berkata: ‘Jika orang-orang baik, maka kami juga akan berbuat baik. Dan jika mereka zhalim, maka kami juga akan berbuat zhalim.’ Akan tetapi, mantapkanlah hati kalian. Jika manusia berbuat baik, maka kalian juga berbuat baik. Jika mereka berbuat zhalim, janganlah kalian ikut zhalim.”
(HR. Tirmidzi – Hasan Gharib)
Islam mengenal dua kebesaran: nasab dan hasab. Nasab adalah siapa keluargamu. Dan hasab adalah apa yang keluargamu sumbangkan untuk umat. Dan lebih utama dari keduanya adalah apa yang engkau wariskan untuk orang-orang setelahmu.
Kita tidak butuh generasi yang hanya ramai. Kita butuh generasi yang menjejak dalam sejarah walau tak viral.
Karena buih akan lenyap. Tapi logam akan tinggal.
Dan mereka yang bermanfaat akan mulia di sisi Allah SWT.
Tinggalkan Komentar