Keharaman arak atau dalam bahasa Arabnya Khamr merupakan hal yang maklum bagi umat Islam. Namun dengan sederet argumentasinya kaum liberal menyatakan ketidak haramannya.
PENDAPAT NYLENEH
Dr. Mustofa Rasyid, seorang dosen di Universitas al-azhar, artikelnya yang berjudul “al-khamr Ghairu Muharamin fi Al-Islam” memaparkan beberapa argumentasi tidak haramnya Arak.
Sebelumnya ia Jelaskan bahwa selama ini para ulama terkekang oleh pikiran ulama terdahulu, hal mana ijtihad mereka dipengaruhi oleh zaman dan kondisi mereka hidup dengan argumentasi seperti ini, ia paparkan beberapa dalil tentang tidak haramnya arak dari Al-Quran dan As Sunnah beserta Tafsir dan penjelasannya yang benar menurutnya.
Beberapa argumentasi yang dipaparkan adalah,
Pertama, firman Allah SWT “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan Judi. Katakanlah:”pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” ( Al Baqarah : 219 ) dan juga, firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 90.
Menurutnya kedua ayat ini hanya menunjukkan kemakruhan arak. Sebab larangannya tidak menggunakan lafal hurrima (diharamkan) secara langsung sebagaimana dalam surat al-Maidah ayat 3.
Kedua, firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk” (An Nisa : 43)
Dalam ayat ini menurut Dr titik Mustofa hanya menunjukkan larangan mabuk di saat shalat sementara diluar waktu shalat diperbolehkan.
Ketiga, Sabda Rasulullah SAW yang berbunyi,
” setiap yang memabukkan adalah arak”. ( HR. Muslim, No: 73)
Hadits ini menurutnya tidak cukup menjadi dalil haramnya arak sebab hanya diriwayatkan dari satu atau beberapa perawi saja. Dan nash hadits ini hanya menunjukkan larangan mabuk, bukan menghukumi dzatnya.
( lihat http://www.m.ashewar.org/s.asp?aid=276843&r=0#.Vn3-15ncza0.twitter )
KEKELIRUAN MUSHTAFA
Dari pemaparan diatas tampak bahwa Dr. Mustafa melandaskan pendapatnya di atas keraguan terhadap otoritas para ulama dalam berijtihad. Hal seperti ini dapat dipahami dan diyakini para pemikir liberal. Dengan begitu mereka akan luasa mengotak-atik nash-nash syar’i berdasarkan pikirannya.
Argumentasi Dr titik Mustofa bahwa ayat yang ada hanya menunjukkan kemakruhannya adalah anggapan yang gegabah. Sebab indikator harinya sesuatu tidak hanya ditunjukkan oleh lafal haram saja. Dapat berupa laknat atau dosa bagi pelakunya. (Lihat Dr. Wahbah Az Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, cet-1, 1406 H), 1/81)
Selain itu jika kita telaah lagi arak diharamkan dalam Alquran dengan lafal haram secara tegas. Mengkomsumsi Arab adalah perbuatan dosa, dan Allah SWT mengharamkan perbuatan dosa sebagaimana dalam firman-nya “Katakanlah : ” Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun tersembunyi, dan perbuatan dosa “ ( Al-A’raf: 33).
Kemudian surat An-Nisa ayat 43. jika dipahami seperti pemahaman Dr. Mustofa maka ayat-ayat Alquran akan bertentangan, sebuah perintah untuk taat kepada Allah dan menghindari dosa bersifat kontinyu sebagaimana firman-nya dalam surat Ali Imran ayat 102.
Selain itu kewajiban salat dalam sehari minimal adalah 5 waktu hal ini menurut untuk meninggalkan Arab di sepanjang waktu, agar ketaatan kepada Allah SWT dapat dilakukan secara kontinyu dan juga dalam menjauhi larangan-Nya. (Ibnu Katsir, tafsir Al Qur’an Al Adhim, tahqiq detik2 Muhammad Husein Syamsudin, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Cet-1, 1419 H), 2/273) maka akan lebih tempat jika dipahami bahwa ayat ini adalah fase kedua diharamkannya arak, sebagaimana penjelasan para ulama. (Lihat Shalih Fauzan al-Fauzan, Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan, Tahqiq: Hamid bin Abdillah dan Abdul Karim bin Shalih, (Riyad: Dar Ibnu Khuzaimah, Cet-1, 1414 H), 1/14)
Selanjutnya argumentasi terakhir Dengan hadits riwayat Muslim. Disini nampak keculasannya dengan memotong teks hadits, sebab lafal hadisnya berbunyi “setiap yang memabukkan itu adalah arak dan setiap arak itu haram. “dan premis ini harus digabung, sehingga menghasilkan poin bahwa arak itu haram. (Lihat Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, Tahqiq: Ibnu Hasan Alu Salman (Dar Ibnu Affan, Cet-1, 1417 H), 5/418-419)
Selanjutnya kalaupun hadits tersebut hadits ahad, arah ulama menyatakan bahwa hadits Ahad, jika umat menerima sebagai dasar amal dan membenarkannya maka dapat memberikan ilmu yakin (kepastian) menurut jumhur ulama. Dan dengan itu Hadits Ahad termasuk bagian Hadits mutawatir. sedangkan Bagi kalangan ulama Salaf tidak ada perselisihan dalam masalah ini. ( Ibnu Abi al-Izz, Syarah Aqidah Ath-Thahawiyah, Tahrij al-Albani, (Far al-Fikr al-Arabi, TT), 339-340).
Dari pemaparan di atas tampak bagaimana kesalahan Dr. Musthafa Rasyid dalam menetapkan hukum arak. Sebagai efek dari kebebasan berpikir dan meragukan otoritas para ulama. Wallahu a’lam bis showab. []