RASA TAKUT YANG TAK TERDIDIK | Al-Khoufu Part II

Rasa Takut Yang Tak Terbina (2/2)

 

Melanjutkan pembahasan sebelumnya, berikut akan dijelaskan tafsir berikutnya dari surat Al-Haaqqah ayat 34 sampai dengan 37 sebagai salah satu dalil pemupuk rasa takut kita kepada azab Allah. Namun sangat aneh jika banyak manusia merasa takut pada waktu-waktu tertentu dan pada tempat-tempat tertentu lantaran ada jin “penunggu”. Padahal jin-lah yang takut kepada manusia, benarkah demikian?

(Firman Allah, -red.vbaitullah):

Dan tidak pula mendorong (orang lain) untuk memberi makan kepada orang miskin. (al-Haqqah: 34).

Artinya, hatinya tidak memiliki rasa kasih sayang kepada orang-orang fakir dan miskin, ia tidak mau memberi makan orang miskin dari hartanya dan tidak mendorong orang lain untuk memberi makan kepada mereka, sebab hatinya tidak ada unsur keimanan.

Sesungguhnya kebahagiaan bertumpu pada dua hal:

  1. Ikhlas hanya karena Allah dimana pangkal keikhlasan ini adalah iman kepada Allah.
  2. Berbuat ihsan (kebaikan) terhadap makhluk Allah dengan segala bentuk perbuatan ihsan, dimana yang terbesar di antaranya adalah menghilangkan kesulitan orang-orang yang butuh dengan cara memberi makan kepada mereka dengan makanan pokok sehari-hari.

Sementara orang-orang sengsara (yang digambarkan dalam ayat-ayat di atas) itu adalah orang yang tidak ikhlas dan tidak ihsan. Karena itulah mereka berhak mendapatkan siksa yang dahsyat itu, Taisir al-Karim ar-Rahman juz II.

(Firman Allah, -red.vbaitullah):

Maka tiada seorang temanpun baginya pada hari ini disini, Dan tiada (pula) makanan sedikitpun (baginya) kecuali dari darah dan nanah, Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang ber,dosa. (al-Haqqah: 35-37).

Artinya: Pada hari kiamat itu, tidak ada seorang karibpun yang dapat menyelamatkannya dari adzab Allah. Disini juga tidak ada makanan lain baginya kecuali dari Ghislin.

Imam Qatadah mengatakan: (makanan dari Ghislin) adalah seburuk-buruk makanan penghuni neraka.

Syabib bin Bisyr mengemukakan dari Ikrimah dari Ibnu Abbas , beliau (Ibnu Abbas) mengatakan: “Ghislin artinya darah dan air yangmengalir dari daging-daging mereka sendiri”. Sementara Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Ghislin adalah nanahnya penghuni neraka. Tafsir Ibnu Katsir secara ringkas IV/536.

Demikianlah, banyak orang yang tidak takut terhadap ancaman Allah , seperti tertuang dalam ayat di atas.Seakan mereka merasakan betapa tenteramnya hidup di dunia.

Ironisnya orang itu justeru takut kepada teror-teror setan. Sesuatu yang sebenarnya hanya halusinasi yang berkembang karena i’tiqad (keyakinan) yang batil.

Adalah aneh jika orang merasa amat ketakutan bila pada malam-malam tertentu, dan pada tempat-tempat tertentu, tidak memberikan sesajian kepada (setan) yang diyakini mem-bau rekso- malam-malam atau tempat-tempat tertentu itu.

Juga sangat aneh jika orang ketakutan akan diganggu oleh setan penunggu suatu tempat tertentu jika tidak meminta izin terlebih dahulu bila hendak lewat.

Atau takut kualat jika keris pusakanya tidak dimandikan dengan benda-benda tertentu pada saat-saat tertentu. Tepat benar apa yang difirmankan Allah a tentang mereka:

Dan bahwasannya ada beberapa orang laki-laki diantara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki diantara jin, maka jin jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (al-Jin: 6).

Berkenaan dengan ayat itu Ibnu Katsir bahkan membawakan riwayat Ibnu Abi Hatim, berasal dari Ikrimah yang mengatakan:

Adalah jin (sebenarnya) takut kepada manusia sebagaimana manusia takut kepada jin atau lebih takut lagi.

Ketika manusia melewati suatu lembah, para jin melarikan diri, tetapi ketika pemimpin rombongan manusia ini berkata, “Kami minta perlindungan kepada penggede penghuni lembah ini”, maka jin-jin itu berkata: “Kita lihat, manusia ini takut kepada kita seperti halnya kita takut kepada mereka.”

Akhirnya jin jin itu mendekat kepada manusia dan menimpakan penyakit bingung dan gila.

(Fazaaduuhum rahaqaa)

artinya menambah bagi mereka dosa.

Menurut Abu al-Aliyah, ar-Rabi’ dan Zaid bin Aslam; (rahaqaa) artinya: (jin jin tersebut menambah bagi mereka) rasa takut.

Al-Aufi membawakan riwayat dari Ibnu Abbas: artinya (jin-jin itu) menambah dosa bagi mereka. Qatadah juga menyatakan demikian. Lihat Tafsir Ibnu Katsir IV/551-552.

Padahal itu hanya takut terhadap bayang-bayang yang tidak benar. Hal tentu amat memprihatinkan karena rasa takut yang demikian justru termasuk rasa takut yang bersifat rahasia (khauf sirr) atau khauf (rasa takut) yang berbentuk peribadatan, yang bila seseorang terkena raga takut ini berarti ia telah terjerumus dalam syirik akbar.  Lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul; Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin tentang khauf; macam kedua dan ketiga, halaman 57; Penerbit Dar Ats-Tsuraya cet III 1417 H/1997 M.

Apa yang dikemukakan di atas hanya sebagian kecil dari kenyataan yang ada. Nampaknya orang harus dibebaskan dari belenggu-belenggu syirik atau takut seperti di atas. Harus ada upaya pembinaan rasa takut, agar takut yang dimiliki seseorang tidak menyimpang; dan akhirnya hanya takut kepada Allah dan ancaman-ancaman neraka-Nya yang dahsyat.

Jika orang sudah memiliki rasa takut yang benar kepada Allah, niscaya ia akan menjadi orang bertakwa kepada Allah. Sudah barang tentu, dengan takut yang diimbangi mahabbah (kecintaan) yang benar dan raja’ (pengharapan) yang benar kepada Allah; sesuai dengan petunjuk dan pemahaman salafus shalih. Bukan rasa takut membabi buta seperti takutnya orang-orang Khawarij.

Takut kepada Allah itu sendiri merupakan ibadah yang luhur dan merupakan barometer keimanan. Allah berfirman:

Karena itu janganlah kdrnu takut kepada mereka, tetapi takatlah kepada-Ku; jika kamu benar-benar orang yang beriman. (Ali-Imran: 175). Perhatikan Syarh Tsalatsah al-Ushul Syeikh al-Utsaimin hal 56 – 57.

Demikianlah seharusnya umat Islam kembali mengarahkan rasa takutnya hanya kepada Allah dan kepada adzab-Nya yang pedih; srta menanggalkan rasa takut kepada hal-hal yang diluar nalar.

Misalnya takut kepada ramalan-ramalan buruk seorang dukun; takut menyelisihi hari-hari yang dianggap keramat berdasarkan perhitungan Kejawen (neptu dan lain-lain); takut kena kutuk kuburan-kuburan orang yang dianggap wall dan takut jika tidak memberi sajen (sesaji) di tempat tertentu dan waktu tertentu. Wallahu al-Masta’an

Penulis: Ahmas Faiz Asifuddin