MUKADIMAH
Kekhilafahan Bani Umayah merupakan sepotong episode sejarah perguliran kekuasaan yang ditandai dengan adanya amul jama’ah di bawah satu pimpinan yang sah, Muawiyah bin Abi Sufyan. Lebih tepatnya jika pemerintahan ini disebut sebagai kerajaan atau Dinasti Bani Umayah karena sistem yang digunakan di dalamnya merupakan sistem kerajaan.
Sejatinya daulah Marwaniyah masih setubuh dengan daulah Umawiyah. Hanya saja kalau kita cermati bahwa di tubuh Dinasti Umayah ini terdapat 2 jalur nasab yang menjadi jalur keturunan kekhilafahan yaitu jalur keturunan Abu Sufyan dan bisa kita sebut dengan Sufyaniah, dan jalur keturunan Al-Hakam dan bisa kita sebut dengan Marwaniyah dinisbatkan kepada anaknya, Marwan bin Al Hakam.
Pemerintahan dari jalur Abu Sufyan bin Harb berjalan kurang lebih dalam kurun waktu 25 tahun, dan sisanya adalah dari jalur al Hakam atau Marwaniyah. Keduanya merupakan keturunan yang mulia, yaitu suku Quraisy.
SELAYANG PANDANG IBNU HAKAM
Beliau adalah Marwan Bin Al Hakam Bin Abul Ash Bin Syams Bin Abdu Manaf Al Qurasyi Al Umawi. Seorang sahabat yang masih sangat belia ketika Rasulullah wafat. Kala itu umurnya adalah 8 tahun. Dia tidak meriwayatkan hadits dari Rasulullah kecuali hanya hadits panjang yang bertutur tentang perjanjian Hudaibiyah.
Dalam perjalanan karirnya, Marwan dipercayai sebagi seorang sekretaris khalifah pada zaman kekhilafahan Utsman Bin Affan dan memegang stempel kekhilafahan. Karena ia pula yang menyebabkan terjadinya pengepungan khalifah Utsman di rumahnya.
Meskipun demikian Utsman sangat menghormati dan memuliakan Marwan karena ia juga termasuk pemuka pemuda Quraisy saat itu. Ia juga pernah beberapa kali ditunjuk sebagai gubernur di Madinah pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan. Ia pernah dipecat sebagai gubernur dan kemudian diangkat lagi menempati jabatan lamanya.
Ia juga merupakan orang yang pertama kali mendahulukan khutbah dari pada shalat pada Hari Raya Idul Fitri. Ketika menjabat sebagai seorang gubernur di masa pemerintahan Muawiyah I, ia selalu mencaci maki Ali setiap kali naik di atas mimbar jum’at. Hasan, anak Ali, berkata kepadanya bahwa Allah telah melaknat bapaknya dan semua keturunannya melalui lisan rasul-Nya.
SULUTAN API FITNAH
Selama dua puluh tahun Muawiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai khalifah pembuka Dinasti Umayah. Pada masa pemerintahannya mulai berubah dalam urusan penunjukan khalifah penerus setelah wafatnya khalifah yaitu dengan menunjuk putra mahkota tatkala sang khalifah masih hidup. Penunjukan ini tidak menyelisihi sunnah Nabi yang mengatakan apabila ada dua khalifah maka bunuhlah yang kedua. Putra mahkota ditunjuk sebagai wali khalifah, bukan sebagai khalifah secara langsung. Maka ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad bahwa kelak pemerintahan Islam yang kedua adalah mulkan adhan, raja yang menggigit.
Maka Muawiyah menunjuk anaknya, Yazid bin Muawiyah menjadi putra mahkota yang kelak akan dibaiat dan meneruskan tampuk kepemimpinan Dinasti Umayah.
Rajab, 60 H, Yazid resmi menjadi raja kedua di Dinasti Umayah. Pada perjalanan kepemimpinannya sekiranya ada dua hal yang menyulut fitnah. Dua hal tersebut adalah peristiwa terbunuhnya Husain di Karbala di tangan Ubaidullah bin Ziyad dan perang Harrah yang terjadi karena penduduk Madinah menarik bait mereka terhadap Yazid.
Di tahun ke 64 H, tahun dimana Yazid bin Muawiyah wafat dengan kekelaman atas semua kedzaliman yang terjadi pada pemerintahannya. Sepeninggalannya, terjadi 2 pembaiatan, pertama adalah pembaiatan anaknya, Muawiyah bin Yazid bin Muawiyah, Muawiyah II. Yang kedua adalah pembaiatan ibnu zubair yang berada di Makkah oleh penduduk hijaz dan sekitarnya. Muawiyah II hanya menjabat sebagai khalifah 6 bulan saja, itupun ia sakit dan tidak pernah keluar untuk menemui rakyatnya.
Suatu ketika sebelum kematiannya, ia pernah meyeru dihadapan khalayak dan berkata bahwa ia tak sanggup untuk memikul kepemimpinan ini, dan hendak meyerahkan kepemimpinan kepada rakyatnya, terserah mereka hendak memilih siapa yang terbaik untuk menjadi pemimpin mereka.
Berbarengan dengan diangkatnya Muawiyah II, Abdullah bin zubair dibaiat di Hijaz sepeninggalan Yazid setelah pasukannya dari Makkah. Terlebih lagi setelah wafatnya Muawiyah II, semakin kuat pula posisi Ibnu Zubair sebagai pemimpin kaum Muslimin.
Ibnu Zubair mengalami 2 kali pengepungan di Makkah dalam waktu yang berbeda. Pengepungan pertama adalah di masa Yazid bin Muawiyah hingga Ka’bah hancur dan direnovasi kembali oleh Ibnu Zubair. Pengepungan kedua adalah di masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan di tahun ke-73 H.
Ditahun yang sama pula, tahun 64 H, Marwan bin Al Hakam juga mengumpulkan suara untuk pembaiatan dirinya. Setelah terjadinya pengusiran Bani Umayah dari Madinah dan berpindah menuju Syam, suara Ibnu Zubair bertambah kuat atas bantuan Dhahak bin Qais. Melihat kekuatan Ibnu Zubair dan kokohnya kerajaannya, ia terbetik untuk ikut membaiatnya di Makkah akan tetapi dihalangi oleh Ubaidullah bin Ziyad dan ia dibaiat oleh ibnu Ziyad dan pasukannya.
PEMBAIATAN IBNU HAKAM BENIH BERDIRINYA DINASTI MARWANIYAH
Dia dibaiat pada hari Senin, bulan Dzulqa’dah, 64 H ketika ia ingin berbaiat kepada Ibnu Zubair yang berada di Makkah. Tujuannya adalah agar bani Umayah mendapatkan jaminan keamanan dari pasukan Dhahak bin Qais di Syam yang cukup kuat sebagai pendukung kepemerintahan Ibnu Zubair. Ditengah perjalanan ia bertemu dengan Ubaidullah bin Ziyad di suatu daerah yang bernama Adzra’at dan ia dibaiat oleh Ibnu Ziyad, Amru bin Said bin Ash, Hushain bin Numair, penduduk Yaman, dan masih banyak lagi.
Ia pun akhirnya mengulurkan tangannya dan dibaiat di Jabiyah pada tanggal 3 Dzulqa’dah 64 H.
UPAYA MARWAN MEMUPUK BENIH KEDAULATANNYA
- Mengembalikan reputasi yang hilang dan memperkokoh diri
Cukup pengusiran Keluarga Umayah dari Madinah dan akhirnya berpindah ke Syam menjadi cambuk keras baginya untuk kembali bangkit dan memperjuangkan usahanya. Batu sandungannya adalah Dhahak bin Qais yang menjadi tim sukses kubu Abdullah bin Zubair.
Dhahak bin Qois adalah wakil gubernur demaskus pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Shofyan. Setelah mu’awiyah wafat dia kembali membaiat putra Mu’awiyah yaitu yazid. Setelah yazid wafat dia membaiat putra yazid yaitu Mu’awiyah II. Setelah Muawiyah II meninggal ia berkeinginan untuk membaiat Ibnu Zubair yang ia nilai memiliki pengaruh besar terhadap kekuasaan Islam.
Maka upaya Marwan adalah menarik simpati massa yang bersama Dhahak melalui perantara Ibnu Ziyad. Ibnu Ziyad pergi ke Damaskus dan berpura-pura untuk pro terhadap Dhahak. Ia menyarankan untuk membaiat rakyat kepada dirinya sendiri dan melepaskan baiat mereka kepada Ibnu Zubair. Kenapa demikian? Karena ia selalu taat dan terkenal sebagai orang yang dapat dipercaya sedangkan Ibnu Zubair keluar dan meninggalkan rakyat. Akhirnya ia pun membaiat rakyatnya untuk dirinya sendiri selama 3 hari. Akan tetapi malah respon buruk yang ia terima, ia dianggap tidak konsisten dalam bersikap. Kemudian ia pun mencabut kembali baiat terhadap dirinya dan kembali berbaiat kepada Ibnu Zubair.
Walhasil, meskipun ia telah kembali mengikatkan tali baiat terhadap Ibnu Zubair akan tetapi reputasinya dihadapan orang-orang Damaskus telah hancur. Kemudian Ibnu Ziyad mengirim surat kepada Marwan bin Hakam untuk mempublikasikan seruannya untuk berbaiat kepadanya dengan terang-terangan.
- Nikah Politik
Salah satu strategi dominasi adalah dengan menikah dengan pemuka kaum yang memiliki pengaruh besar terhadap dukungan kekuasaan. Itulah yang dilakukan oleh Marwan bin Hakam dengan menikahi janda Yazid bin Muawiyah, ibunda Khalid dan Muawiyah II. Namanya adalah Ummu Hasyim binti Hasyim bin Utbah bin Rabi’ah. Pernikahannya ini berdampak besar bagi publik dan orang-orang pun mulai datang dan membaiat Marwan.
Selain untuk memperkokoh dukungan publik, ia juga bertujuan untuk menghinakan Khalid dan mencegah jatuhnya kekuasaan di tangannya. Meskipun akhirnya kematiannya disebabkan oleh pernikahannya dengan wanita tersebut karana dedam atas rasa sakit hati terhadap penghinaannya terhadap dirinya dan putranya, Khalid.
- Merebut kembali Syam ke pangkuan
Ini ditandai dengan peristiwa Mahju Rahith antara Marwan bin Hakam dan Dhahak bin Qais. Karena merasa tertipu oleh makar Ibnu Ziyad yang menyuruhnya untuk membaiat rakyat untuk dirinya dan malah mendapatkan repon negatif dari masyarakat, akhirnya terjadilah peristiwa ini. Ia mempersiapkan pasukan dengan meminta bantuan kepada Nu’man bin Bayir dan Zufar bin Harits al Kalabi bersama pasukan Qinaishirin dan terkumpul 30.000 pasukan. Dari kubu Marwan pun demikian, telah mempersiapkan pasukan gabungan. Mereka bertempur selama 20 hari. Ibnu Ziyad berinisiatif untuk melakukan genjatan senjata untuk mengecoh musuh, setelah terjadi genjatan senjata pasukan Marwan melakukan tipu daya dengan melakukan serangan yang hebat hingga pasukan Dhahak pun kocar-kacir dan terpukul mundur. Akhirnya Dhahak pun terbunuh di tangan Zam’ah bin Abdullah.
- Meredam Pergerakan Raja Makkah, Ibnu Zubair
Upaya yang ini adalah dengan mencegah pergerakan perluasan wilayah ibnu Zubair yang mulai meluas cakupan wilayahnya. Perlu diketahui bahwa kekuasaan ibnu zubair sudah meliputi sebagain besar wilayah teritorial kekuasaan kaum muslimin yang meliputi hijaz, mesir, iraq dan sebagian kecil wilayah syam. Maka langkah yang harus ditempuh adalah merebut kembali wilayah tersebut dan menempatkan para gubernur-gubernurnya dari kalangan Bani Umayah.
WAFATNYA MARWAN BIN HAKAM DAN PENUNJUKAN KHALIFAH
Marawan bin Hakam meninggal pada tanggal 3 Ramadhan 65 H dibunuh oleh istrinya, Ummu Khalid dengan dicekik ketika tidur lantaran dendam akan penghinaan yang dilakukannya terhadap Ummu Khalid dan Khalid dengan dibantu pada dayang. Ia hanya memimpin tidak genap satu tahun, hanya 9 bulan saja.
Dimasa hidupnya, pada masa kekhilafahan Ibnu Zubair, ia menunjuk anaknya Abdulmalik untuk menggantikan kekhilafahan sepeninggalannya pada tahun 65 H. dia menjadi penguasa Syam dan Mesir dalam kurun waktu tujuh tahun. Ibnu Zubair menguasai negeri-negeri lain. Tatkala kematian ayahnya, pembaiatan untuk dirinya diperbaharui di Damaskus dan Mesir, serta wilayah-wilayah di bawahnya. Kemudian ia menjadi khalifah seluruh negri setelah wafatnya Ibnu Zubair pada tahun 73 H ditangan Hajjaj bin Yusuf.
PENUTUP
Kedaulatan Dinasti Marwaniyah semakin kokoh dengan wafatnya Abdullah bin Zubair di tangan Hajjaj bin Yusuf ats Tsaqafi. Hingga terus berjalan puncak kegamilanggannya di tangan khalifah Umar bin Abdul Aziz yang mengembalikan suasana kekhilafahan ala Umar bin Khattab. Kekhilafahan ini diakhiri oleh Marwan bin Muhammad yang kala itu Bani Abasiyah sudah muncul bahkan sudah memiliki kekuatan yang luar biasa hingga mempu menggulingkan umawiyah dan membuka lembaran sejarah baru.
وتلك الأيام نداولها بين الناس
Benarlah firman Allah di atas, karena sesungguhnya putaran roda kehidupan tidak bisa dihindari. Mereka yang dahulu di atas, ada saatnya pula mereka akan berada di bawah begitu pula sebaliknya.
Dibalik semua kejadian ini tersimpan ibrah yang sangat luar biasa. Hanya orang-orang yang berakal yang mampu untuk mengambil hikmah dan berbenah diri. Wallahu a’lam bish shawab.