Shalat adalah kewajiban bagi seluruh umat muslim yang telah terbebani syari’at yaitu baligh. Disebutkan dalam suatu hadits bahwa shalat adalah sebagai tiang agama yang menjadi penentu dan barometer amalan lainnya. Apabila shalat kita benar dan penuh dengan keikhlasan dalam menjalankannya, maka bisa dipastikan amalan-amalan lain diluar sholat akan baik pula. Sebaliknya apabila shalat yang kita kerjakan hanya sebatas untuk menggugurkan kewajiban sebagai seorang muslim, maka amalan-amalan lainpun tak ubahnya seperti shalat yang ia kerjakan. Keabsahan shalat tak lepas dari benar dan terlaksananya syarat-syarat shalat dan tatacaranya. Salah satu syarat sahnya shalat adalah wudhu’. Wudhu’ adalah cara bersuci yang telah diwajibkan Allah ﷻ sebelum kita melaksanakan sahlat. Dalam al-Qur’an Allah berfirman :
{ يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ أمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى المَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُؤُوْسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الكَعْبَيْن)) { المائدة:6))
“ Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kalian berdiri untuk mengerjakan sholat maka hendaknya kalian membasuh wajah kalian, dan kedua tangan kalian hingga siku-siku serta mengusap kepala kalian dan membasuh kedua kaki kalian hingga mata kaki “ ( QS. AL-MAIDAH : 6 )
Dari wudhu itu sendiri, syafi’iyah membaginya dengan rukun-rukun yang wajib dan rukun-rukun yang sunnah serta makruh. Adapun rukun yang wajib yang sesuai dengan ayat diatas adalah :
- Karena Rasulullah ﷺ menjelaskan dalam hadits Arba’in An-Nawawiyyah hadits yang pertama bahwa segala sesuatu (amalan) itu tergantung pada niatnya. Dan seseorang itu juga tergantung pada apa ia niatkan. Niat adalah poin penting dalam menjalankan segala hal. Terkadang seseorang bisa mendapat dosa disebabkan salah niat walaupun melakukan kebaikan. Niat juga menjadikan apa yang akan kita laksanakan jelas tujuannya. Seperti berniat untuk wudhu yang menjadi bahasan kita. Wudhu sendiri bisa dikerjakan seseorang kapanpun tanpa disertai sholat setelahnya. Seseorang wajib meniatkan dalam wudhunya itu dimaksudkan untuk mengangkat hadats atau untuk bersuci dari hadats ataupun bersuci untuk melaksanakn sholat. Dalam syafi’iyyah, apabila seseorang berwudhu diniatkan untuk melaksanakan sholat sunnah, maka wudhu tersebut tidak sah digunakan untuk mengerjakan sholat fardhu. Namun jika seseorang berwudhu diniatkan untuk melaksanakan sholat fardhu maka wudhu tersebut sah digunakan untuk sholat sunnah lainnya. Niat berada dalam hati seseorang namun melafadzkan niat menurut Imam Syafi’i adalah sunnah guna menguatkan apa yang diniatkannya sehingga tidak terjadi kesalahan dalam berniat.
- Membasuh wajah. Yaitu membasuh area wajah secara keseluruhan mulai dari batas tumbuh bulu rambut disekitar kening menuju batas ujung keluarnya jenggot yaitu dibelakang tulang geraham luar serta diantara kedua telinganya. Termasuk didalamnya bulu alis, kumis, bulu mata, dan jambang pun harus terbasuh secara menyeluruh sampai pada kulit di belakangnya.
- Membasuh tangan sampai pada siku-siku. Segala yang terdapat dan tumbuh diantara keduanya wajib terbasuh. Seperti bulu-bulu halus, kutil, atau kuku.
- Mengusap sebagian dari kepala. Walaupun hanya rambut yang diusap baik sebagiannya atau keseluruhannya ataupun kulit rambutnya. Namun syarat rambut yang diusap tidak keluar dari batas kepala dari segala sisi walau rambutnya panjang seperti orang yang memiliki rambut keriting.
- Membasuh kedua kaki mulai dari ujung jari hingga atas mata kaki dan sisesuaikan kadarnyah bagi mereka yang tidak memiliki mata kaki. Adapun bagi mereka yang tidak memiliki kaki, jika kakinya putus atau lahir secara prematur tanpa disertai 1 kaki, maka wajib baginya membasuh sebagian lain yang masih utuh. Adapun jika tidak memiliki keduanya maka tidak wajib baginya membasuh kaki namun disunnahkan untuk membasuh apa yang tersisa dari anggota kaki tersebut serta apa-apa yang tumbuh dari keduanya.
- Urut dalam menjalankan rukun-rukun wudhu yang telah disebutkan diatas. Apabila seseorang sudah membasuh tangan namun lupa untuk berniat, maka wajib baginya untuk mengulangi niatnya serta mengulangi anggota wudhu yang telah terlewat. Begitupula pada anggota-anggota lain yang tertinggal ataupun tidak urut, maka wajib baginya untuk mengulang anggota wudhu yang tidak urut tersebut. Dalil yang diambil oleh Imam Syafi’i dalam menetapkan tertib sebagai bagian dari rukun wajib wudhu adalah karena didalam ayat yang kami sebutkan diatas terdapat kaedah bahasa arab yang mana jika ada jenis pekerjaan yang ditaruh ditengah-tengah kalimat (mengusap kepala) yang mana jenis tersebut berbeda dengan jenis yang lainnya (mengusap wajah, tangan, dan kaki), maka perintah tersebut menunjukkan akan wajibnya pekerjaan tersebut dilakukan secara teratur dan urut.
Itulah pembahasan wudhu dalam pandangan Imam Syafi’i. Adapun berkumur, memasukkan air kedalam hidung dan mengeluarkannya, dan lain sebagainya itu menjadi sunnah yang diajarkan Rasulullah ﷺ sebagai penyempurna wudhu. Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari yang berbunyi:
عن حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رضي اللهُ عنهما : أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ , فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إنَائِهِ , فَغَسَلَهُمَا ثَلاثَ مَرَّاتٍ ، ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِينَهُ فِي الْوَضُوءِ , ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاثاً , وَيَدَيْهِ إلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثَلاثًا , ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ , ثُمَّ غَسَلَ كِلْتَا رِجْلَيْهِ ثَلاثًا , ثُمَّ قَالَ : رَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَتَوَضَّأُ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ، وَقَالَ : مَنْ تَوَضّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا , ثُم صَلَّى رَكْعَتَيْنِ , لا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ له ما تقدم من ذنبه
Dari Humran maula (bekas budak) Utsman bin Affan ra. Bahwasanya Utsman meminta diambilkan air wudhu kemudian dia menuangkan air dari bejana ke atas kedua telapak tangannya lalu membasuh keduanya tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangan kanannya ke air wudlu lalu berkumur-kumur dan beristinsaq (menghirup air ke hidung) serta ber-istintsar (mengeluarkan air yang dihirup ke hidung). Kemudian dia membasuh wajahnya tiga kali. Kemudian dia membasuh kedua tangannya hingga siku tiga kali. Kemudian dia mengusap kepalanya. Kemudian dia membasuh kedua kakinya hingga mata kaki tiga kali. Kemudian Utsman berkata: Aku melihat Rasulullah saw dulu berwudhu seperti wudluku tadi. Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang berwudhu seperti wudhuku ini kemudian sholat dua raka’at dalam keadaan tidak terlintas pikiran apapun (dalam urusan keduniaan) di dalam benaknya niscaya dosa-dosanya yang telah berlalu akan diampuni.”
Sebuah pertanyaan mengapa dalam wudhu dikhususkan 4 anggota badan yang perlu dibersihkan? Dalam kitab Kasyifatus Saja karangan Syeikh An-Nawawi Al-Jawi syarah dari kitab Safinatun Najah dijelaskan bahwa keempat anggota badan inilah yang paling sering berbuat kesalahan dan maksiat. Maksiat mata apabila melihat yang tidak senonoh, maksiat tangan jika digunakan untuk hal yang negatif, maksiat kaki digunakan untuk berjalan ketempat-tempat yang diharamkan oleh Allah serta maksiat kepala tatkala memikirkan hal-hal yang tidak bermanfaat. Seperti nabi Adam ‘alaihis salam tatkala dibujuk oleh syaithan hingga berbuat maksiat pada Allah dengan memakan buah yang dilarang oleh Allah ﷻ. Itulah mengapa anggota-anggota tersebut dikhususkan oleh Allah untuk dibersihkan saat ingin bermunajat pada Allah dalam shalat. Wallahu a’lam.
Ibnu Ristan