Dahulu kala, leluhur kita hidup damai di desa. Mereka bercocok tanam, memelihara ikan di empang, atau ayam di kolong rumah, serta berkebun bersama. Warga yang tinggal di bibir pantai pun mudah mencari ikan untuk lauk atau barter dengan kebutuhan pokok lainnya. Menikah bisa kapan saja—tentunya untuk para jomblo. Resepsi sederhana, urunan lauk seluruh warga desa. Membangun rumah pun bisa dilakukan dengan gotong royong. Kebutuhan papan, pangan, dan sandang semuanya terpenuhi tanpa rasa khawatir, “Besok masih bisa makan nggak, ya?”
Anak-anak bermain di halaman luar, berlarian, bermain petak umpet, berinteraksi, dan mengaji bersama di langgar tanpa ada gadget. Badan sehat, jiwa kuat. Tentu tidak semua desa seindah itu, tetapi ini adalah gambaran ideal desa yang berdaulat—bukan hanya secara fisik, melainkan juga dari cara hidupnya.
Hingga suatu saat listrik masuk desa. Dari televisi, mereka melihat kehidupan kota lewat sinetron: kok enak ya, penuh kemegahan, keren, tidak belepotan tanah, dan tidak panas-panasan untuk bercocok tanam. Saat lebaran tiba, sepupu yang merantau di kota bercerita tentang lowongan kerja di sana. “Bro, enakan kerja di pabrik daripada nyangkul. Duitnya bisa buat beli HP, TV, kulkas, dan motor.”
Lalu, berbondong-bondonglah mereka ke kota. Tinggal di rumah petak, berbagi ruang dengan kawan buruh lainnya. Saat gajian, uang mengalir seperti talang air—langsung habis untuk bayar cicilan motor, HP, pakaian, dan impian-impian mereka. Lembur pun sudah biasa demi menutup sisa cicilan lainnya. Libur hanya sehari seminggu, dipakai untuk mencuci, tidur ekstra, dan scroll-scroll media sosial. Modern? Iya. Merdeka? Tidak.
Desa yang Hilang
Tahun demi tahun berjalan. Alhamdulillah, akhirnya bisa membeli rumah susun dan berkeluarga. Tapi anak-anak bermain di mana? Keluar rumah langsung jalan raya. Rumah di pinggir jalan katanya strategis, jadi kasih HP saja biar anak diam. Mau main petak umpet di mana? Mau main kasti di mana? Jangan-jangan sudah tidak tahu apa itu kasti. Lahan bermain terbatas, sekat-sekat rumah membentuk individualisme. Tetangga meninggal pun tidak ada yang peduli. Orang dibegal malah di kontenin yang penting viral.
Bekerja di pabrik dari pukul tujuh pagi hingga tujuh malam. Pabrik maklun dari brand global. Saat ekonomi global menurun, pabrik lokal terkena imbas, tutup, dan PHK terjadi di mana-mana. Menganggur. Kok tidak kembali ke desa saja? Ternak dan tani lagi? Lahannya sudah jadi pabrik dan perumahan. Sungainya sudah tercemar limbah dan sampah. Desamu tidak seperti dulu lagi.
Beli tanah pun susah, apalagi membangun rumah. Gotong royong sudah hilang dari kamus. Mau bertani, tidak punya ilmu dan keterampilan. Kalaupun ada, pupuknya mahal dan berbahan kimia. Saat panen, hasilnya dijual ke tengkulak—tetap tekor.
Apakah kita menolak industrialisasi? Tidak sepenuhnya, tapi mayoritas, iya—terutama industrialisasi yang tidak ramah lingkungan dan mendorong konsumerisme serta materialisme. Industrialisasi menyebabkan urbanisasi, mengubah alih fungsi lahan pertanian, menggoyang stabilitas ekosistem pangan, dan mengubah kedaulatan menjadi sekadar ketahanan. Kedaulatan adalah kemampuan memproduksi sendiri, sedangkan ketahanan hanya membeli dari daerah lain.
Ada dua masalah besar dari industrialisasi: pertama, berkurangnya lahan pertanian karena alih fungsi untuk perumahan buruh di pinggiran kota, industri, area komersial, dan infrastruktur. Kedua, menurunnya jumlah petani, terutama usia muda. Mayoritas petani saat ini berusia di atas 55 tahun.
Pertanian tetap memerlukan teknologi agar hasilnya lebih murah, mudah, dan cepat. Jika urbanisasi tidak bisa dibendung, setidaknya lahan pertanian harus dipertahankan. Jumlah petani yang menurun bisa diatasi dengan teknologi pertanian yang lebih efisien. Kurangnya minat pemuda bertani salah satunya karena penghasilan minim akibat tengkulak.
Solusinya? Bentuk koperasi desa atau BUMDes sebagai offtaker—harga tengah, bukan harga mati dari tengkulak. Terapkan sistem pertanian terpadu: pertanian, peternakan, dan perikanan organik yang saling mendukung, sehingga tidak perlu membeli pupuk dari luar, apalagi yang nonorganik.
Membangun ekosistem memerlukan sistem atau regulasi. Misalnya, regulasi belanja bahan pokok di lokal dengan sistem reward dan punishment. Tanpa itu, ketaatan sulit dijalankan. Contohnya: pendidikan dan kesehatan gratis dengan syarat makan organik, sehingga obatnya herbal. Kalau makan nonorganik, obatnya farmasi. Kedua, kontrol sosial: jika tidak belanja di warung desa, kena sanksi sosial. Ketiga, tidak mendapatkan SHU koperasi jika tidak belanja atau makan di lokal.
Ini bukan soal memaksa, tapi membangun kesadaran bersama. Kalau ingin desa maju, harus kompak menjaga perputaran uangnya. Ribet? Sebenarnya bisa dilakukan bertahap.
Bagaimana pendanaannya? Jika regulasi berjalan, uang berputar di desa akan membesar, devisa yang keluar berkurang, penduduk lebih makmur. Jika masih kurang, hasil surplus bisa dijual ke kota atau mendatangkan devisa dari wisata. Modal awal bisa dari dana CSR atau TJSL, ZIS, dan lainnya sesuai aturan, untuk membangun ekosistem desa mandiri.
Ekosistem desa mandiri adalah desa yang mampu memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri—sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, rohani, dan energi—dengan kekuatan lokal. Jika desa sudah mandiri, devisa bisa datang dari luar. Hasil BUMDes juga bisa dipakai untuk insentif petani. Karena profesi petani adalah fardhu kifayah, maka mereka harus mendapat SHU lebih besar.
Kalau Anda punya lahan di desa, rawatlah. Kalau Anda penggiat desa, mari kita kolaborasi. Kalau Anda pemuda, ayo belajar bertani lagi. Tidak perlu menunggu tua untuk kembali ke desa. Yuk, kita jalani slow living bersama. Jangan tunggu tua. Merdeka!
Oleh : Jaya Setiabudi
Tinggalkan Komentar