SEKILAS INFO
: - Jumat, 29-03-2024
  • 1 minggu yang lalu / Telah di buka SEDEKAH BUKA PUASA UNTUK SANTRI Darul Fithrah, mari kita raih pahala sebanyak banyaknya salah satunya dengan memberi makan dan minum orang yg berpuasa di bulan Ramadhan yg mulia ini.
  • 1 minggu yang lalu / Bulan Ramadhan adalah bulan Al Qur’an , mari kita gunakan waktu di bulan Ramadhan ini untuk memperbanyak membaca dan mentadabburi isi Al Qur’an.
  • 2 bulan yang lalu / Bingung pilih pondok Tahfidz atau pondok IT ? di Darul Fithrah kamu bisa dapat keduanya. Lebih Efektif & Efisien
MAQASHID SYARIAH | Liposuction Part II
  1. Maqashid Syariah

Sejarah Singkat

                Tidak dapat dipungkiri bahwa syariat Islam mencakup tujuan didalamnya, yaitu untuk mendapatkan maslahat dan mencegah mudharat dengan disertai sumber utama dari maqashid yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Keduanya menunjukkan maqashid syariat di banyak ayat dan hadits yang termaktub dalam kitab-kitab para ulama.

Beberapa contoh maqashid dalam al-Qur’an adalah penjelasan tentang tujuan suatu hukum syariat seperti shalat yang mencegah dari perbuatan keji dan mungkar[1], kewaijban zakat untuk mensucikan diri dan harta[2], dan perintah berpuasa agar mendatangkan sikap takwa kepada Allah subhanahu wata’ala[3], dan masih banyak lagi penjelas maqashid yang terdapat dalam al-Qur’an.

                Maqashid dalam perjalanannya memiliki banyak penamaan yang berbeda. Sebelum menjadi ilmu tersendiri, para ahli ushul memiliki istilah yang mereka bahasakan dalam kitab-kitab yang mereka karang dalam memaknai maqashid. Beberapa diantarana diistilahkan dengan al-ma’aniy oleh Imam ath-Thabari dalam tafsirnya, al-hikmah oleh al-Ustadz al-Raisuniy, al-mudzannah dan al-‘illah oleh Imam Asy-Syathibi, al-mashlahah oleh Doktor al-Khadimi, as-sabab oleh al-Amidi, al-‘alamah oleh as-Sarkhasi, al-munasibah oleh Ibnu Hajib, al-ba’its oleh Ibnu Hajib, al-ghardhu oleh banyak ulama dari kalangan Asy’ari.[4]

Hampir semua ulama ushul kontemporer, termasuk Ibnu Asyur bersepakat bahwa Imam as-Syathibi adalah bapak maqashid syariah pertama sekaligus peletak dasarnya. Namun, itu tidak berarti bahwa sebelum beliau, maqashid tidak ada. Imam as-Syathibi lebih tepat disebut orang pertama yagn menyusun secara sistematis.

Bagi sejumlah teoritikus hukum Islam, maqashid adalah pernyataan alternatif untuk kemaslahatan-kemaslahatan. Misalnya, Abdul Malik al-Juwaini (478 H), salah seorang kontributor paling awal terhadap teori maqashid menggunakan istilah al-Maqashid dan al-Mashalih al-Ammah (kemaslahatan umum) secara bergantian.[5]

Abu Hamid al-Ghazaly (505 H) mengelaborasi klasifikasi maqashid, yang ia masukan dalam kategori kemaslahatan mursal (al-Mashalih al-Mursalah), yaitu kemaslahatan yang tidak disebut secara langsung dalam nash Islam.[6] Fakhr al-Din al-Razi (606 H) dan Al-Amidi (631 H) mengikuti terminologi al-Ghazaly.[7]

Najm al-Din al-Tufi (716 H) mendefinisikan kemaslahatan sebagai apa yang memenuhi tujuan sang Pembuat Syariah (al-Syari’), yaitu Allah. Kemudian al-Qarafi (1285 H) mengaitkan kemaslahatan dan maqashid dengan kaidah ushul fiqh yang menyatakan: “Suatu maksud tidak sah kecuali jika mengantarkan pada pemenuhan kemaslahatan atau menghindari kemudharatan”.[8] Ini beberapa contoh yang menunjukan kedekatan hubungan antara kemaslahatan dan maqashid dalam konsepsi ushul fiqh (khususnya antara abad ke-5 dan 8 H, yaitu periode ketika teori maqashid berkembang).

Sejarah ide tentang maqashid syariah atau tujuan-tujuan atau maksud yang mendasari perintah al-Qur’an dan Sunnah dapat dilacak hingga masa Nabi Muhammad. Sebagaimana diriwayatkan dalam sejumlah peristiwa. Salah satu contoh paling populer adalah hadits yang bersilsilah mutawatir tentang shalat asar di Bani Quraizhah,[9] di mana Rasulullah mengutus sekelompok sahabat ke Bani Quraizhah dan memerintahkan mereka untuk melaksanakan shalat asar di sana.[10] Namun yang terjadi batas waktu shalat asar hampir habis dan para sahabat tiba di Bani Quraizhah. Lalu para sahabat terbagi menjadi pendukung dua pendapat yang berbeda: pendapat pertama bersikukuh salat Asar di Bani Quraizhah dengan konsekuensi apapun yang terjadi, sedangkan pendapat kedua bersikukuh shalat Asar diperjalanan (sebelum waktu shalat Asar habis).

Rasionalisasi di balik pendapat yang pertama adalah bahwa perintah Rasulullah itu secara tekstual meminta setiap orang untuk melaksanakan shalat Asar di Bani Quraizhah, sedangkan rasionalisasi pendapat kedua adalah ‘maksud/tujuan’ perintah Rasulullah adalah meminta para sahabat bergegas menuju Bani Quraizhah dan bukan ‘bermaksud’ menunda shalat Asar hingga habis waktu shalat. Menurut perawi, ketika para sahabat melaporkan cerita tersebut kepada Rasulullah, Rasulullah meneguhkan kebenaran kedua opini para sahabat. Takrir Rasulullah sebagaimana para fakih dan ulama, menunjukan kebolehan dan kebenaran kedua sudut pandang diatas.

Satu-satunya ulama yang tidak setuju dengan para sahabat yang mengerjakan salat di perjalanan adalah Ibnu Hazm azh-Zhahiri (seorang fakih terkemuka madzhab leteralis atau zahiri), yang menulis bahwa kelompok Sahabat tersebut seharusnya mengerjakan shalat Asar setelah sampai di Bani Quraizhah, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah bahkan setelah tengah malam sekalipun.[11]

Contoh diatas memberikan ilustrasi awal sejarah konsep-konsep maqashid syariah dalam aplikasi hukum Islam dan bahwa implikasi yang muncul akibat memberikan kedudukan fundamental pada maqashid sudah ada sejak zaman Rasulullah dan para Sahabat.

Maqashid menjadi sebuah ilmu tersendiri setelah dikodifikasi pertama kali oleh Imam asy-Syatibi sebagai orang yang mempopulerkannya. Dari hal tersebut, disimpulkan bahwa syariat islam dibangun atas dua dasar, yaitu agar segala malan yang dikerjakan oleh para mukallaf mendapat maslahat dan atau mencegah mudharat. Seiring dengan pengembangannya, disimpukan bahwa dari dua dasar tersebut memiliki suatu tujuan yang diklasifikasikan oleh para ulama menjadi lima urgensitas dalam islam, yaitu menjaga agama, nyawa, kehormatan, akal, dan harta.

Sumber Maqashid

Maqashid dalam penerapannya akan menghasilkan faidah yang disimpulkan dari sumber-sumber maqashid yang telah disepakati oleh para ulama. Dengan sumber tersebut akan memudahkan bagi para mujtahid untuk menentukan konteks yang terdapat dalam suatu nash, mengungkap maksud dari suatu hukum, dan menjelaskan orientasi dari sebuah syariat yang Allah tetapkan bagi para hamba-Nya. Sumber-sumber tersebut adalah:

  1. Ilmu Kalam
  2. Al-Qur’an dan as-Sunnah
  3. Hukum Syariat dari sisi penerapannya
  4. Perubahan syariat dari hasil penelitian dalam bab-bab yang bermacam-macam
  5. Ilmu Bahasa Arab
  6. Keadaan Mukallaf dari sisi wadh’i bagi pembebanan syariat
  7. Keadaan mukallaf dari sisi wadh’i dibawah hukum taklif[12]

Maqashid Dalam al-Qur’an dan as-Sunnah

                Al-Qur’an

  1. Maqashid dari penciptaan makhluk hanya untuk beribadah

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”  (QS. adz-Dzariyat: 56)

  1. Maqashid dari dibangkitkannya makhluk kelak diakhirat untuk berintropeksi diri dan makhluk diciptakan bukan karena tidak ada sebab

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ

“Maka, Apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?”  (QS. Al-Mukminun: 115)

  1. Maqashid dari diutusnya nabi Muhammad

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan tidaklah Kami utus kamu (wahai Muhammad) kecuali untuk rahmat bagi semesta alam”  (QS. Al-Anbiya’: 107)

  1. Maqashid dari diturunkannya al-Qur’an

….وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ

“dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (muslim)”  (QS. An-Nahl: 89)

  1. Maqashid dari diperintahkannya shalat

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

“dan kerjakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Dan  (ketahuilah) mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”  (QS. Al-Ankabut: 45)[13]

As-Sunnah

Salah satu contoh dari as-Sunnah adalah ketika ada seorang badui yang buang air didalam masjid dan para sahabat berkeinginan untuk menghardiknya ketika buang air. Lantas Rasulullah melarang mereka untuk mencegah badui tersebut seraya berkata,

“Biarkan dia dan siramlah bekas kencingnya dengan seember air, karena sesungguhnya aku diutus kepada kalian untuk memudahkan dan bukan untuk menyulitkan (suatu perkara).”[14]

Maqashid Dan Kaitannya Metodologi Ijtihad

  1. Maqashid dengan Qiyas

 

Qiyas dibangun atas dasar illah yang terdapat dalam suatu hukum. Begitu juga qiyas berkaitan dengan cara mencari illah tersebut, serta penelitian terhadap jenis hukum yang terkait, dan penelitian terhadap pijakan sebab dari suatu hukum tersebut. Semua yang disebut diatas adalah dalil untuk menetapkan suatu maqashid syariah.

 

Sebagai contoh pengqiyasan nabidz (fermentasi kurma) terhadap khamr. Hukum asal dalam syariat adalah keharaman meminum khamr dan hukum cabang darinya adalah nabidz yang mana memiliki illah yang sama yaitu sama-sama memabukkan. Maka, dari hal tersebut ditariklah hukum mengonsumsi nabidz adalah haram berdasar qiyas terhadap khamr. Maqashid dari kedua hukum tersebut adalah untuk menjaga akal dan harta sebagai urgensitas dalam agama.[15]

 

  1. Maqashid dengan Maslahat Mursalat

 

Jika terdapat suatu perkara yang mana Allah tidak menyimpulkan hukum perkara perkara tersebut, akan tetapi telah disepakati oleh para ulama melalui kaidah dan rambu serta dalil syar’i sehingga tercapai suatu hukum, maka itulah yang dinamakan maslahat mursalat. Hal ini adalah bentuk murni dari maqashid syariah itu sendiri.

 

Dalam tatanan praktek, ada pengumpulan al-Qur’an menjadi satu mushaf sebagai maslahat agar kaum muslimin tidak kehilangan dasar hukum mereka meskipun Allah dan Rasul-Nya pun tidak pernah menyinggung hukum dari pengumpulan tersebut. Hal lain adalah kodifikasi ilmu yang juga belum pernah dipraktekkan oleh Rasulullah. Kesemuanya adalah bentuk maslahat yang dipandang akan lebih menjadikan suatu perkara mencapai pada tujuannya.

 

Dewasa ini, maslahat mursalat sering dipakai untuk perkara-perkara kontemporer yang membutuhkan suatu kejelasan. Memakai teknologi modern untuk menampakkan syiar islam, dakwah dengan perantara  media visual, pengukuhan hak cipta dalam suatu produk dipelegalan tertentu, serta undang-undang kewarganegaraan dan kemiliteran yang terdapat manfaat bagi agama serta sesuai dengan jalannya adalah buah dari maslahat mursalat yang telah para ulama simpulkan. [16]

 

  1. Maqashid dengan Istihsan

 

Istihsan adalah kecenderungan sesorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bersifat lahiriyah (hissy) ataupun maknawiah. Meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain. Istihsan juga dapat diartikan dengan penangguhan hukum seseorang mujtahid dari hukum yang jelas (al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’, dan qiyas) ke hukum yang samar-samar (qiyas khafiy, dll) karena kondisi atau keadaan darurat atau adat istiadat.

Kaidah-Kaidah Dalam Beramal Dengan Maqashid

                Maqashid Syariah adalah bagian dari ilmu yang harus dipelajari bagi para penggiat ilmu agama baik mujtahid, mufti, thullabul ilmi, atau masyarakat pada umumnya. Maqashid termasuk bagian dari alat untuk mensikapi suatu masalah agar dapat dihukumi secara syar’i. Ketika suatu permasalahan tidak terdapat nash, ijma, atau qiyas yang menjelaskan akan kehalalan atau keharamnnya, maqashid dapat menjadi salah satu sarana dalam menentukan suatu hukum. Akan tetapi, dalam beramal dengan maqashid tidak sembarang orang dapat melakukannya. Hal tersebut terdapat rambu-rambu yang telah disimpulkan oleh para ulama. Beberapa diantaranya adalah,

  1. Beramal dengan maqashid dibatasi hanya pada kalangan mujtahid
  2. Perkara yang sedang dihukumi harus dipastikan benar-benar merupakan sebuah maqashid syariah dan maslahat bagi agama
  3. Ada maslahat yang jelas jika beramal dengannya
  4. Mengamalkan hukum dengan maqashid harus bersesuaian dengan hukum lainnya
  5. Memprioritaskan maqashid yang lebih besar, lalu dibawahnya dan seterusnya ketika terdapat gesekan antara keduanya. Maka, hifdzu diin lebih diprioritaskan atas hifdz-hifdz lain
  6. Beramal dengan maqashid dibatasi dalam hukum yang memiliki illah atau terdapat unsur ta’lil dan bukan dalam perkara ibadah
  7. Hendaknya maqashid itu dipastikan denan keyakinan atau dzan yang mendekati kebenaran
  8. Maslahatnya harus nampak jelas, tidak menjadi perdebatan dikalangan ulama
  9. Hendaknya maqashid tersebut bersifat umum yang berlaku diberbagai tempat, orang, atau waktu
  10. Hendaknya maqashid atau masalaht tersebut memiliki batasan yang jelas, sehingga tidak meluas atau menyempit pada beberapa bagian bahasannya[17]

[1] Al-Ankabut: 45

[2] At-Taubah: 103

[3] Al-Baqarah: 183

[4] Hamzah Abu Faris, al-Madkhal ila Dirasati Ilmi Maqashidi as-Syari’ati al-Islamiyyati, (Libya: Darul Walid, Universitas Throblis, Throblis,  1433 H/ 2012 M), hal: 29-43.

[5] Abdul Malik al-Juwaini, Ghiyas al-Umam fi Iltiyas az-Zulam, ed. Abdul Azim ad-Diib (Qatar: Wazarah as-Syu’un ad-Diniyyah, 1400 H), h: 253

[6] Al-Ghazaly, al-Mustasyfa, (Bandung: Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syariah, Cet. I, Terjemahan, Mizan Media Utama), h: 33.

[7] ibid

[8] Syihab al-Din al-Qarafi, al-Dzakirah (Beirut: Dar al-‘Arab, 1994), vol. 5, h: 478

[9] Sekitar tahun ke-& H. Lokasi tersebut beberapa mil dari Madinah.

[10] Muhammad al-Bukhari, al-Shahih, (Beirut: ed. Musthofa al-Bugha, Dar Ibn Katsir, 1986), h: 321.

[11] Ali Ibnu Hazm, Al-Muhalla, (Beirut: ed. Lajnah Ihya al-Turats al-‘Arabi, Dar al-Afaq), 3/29.

[12] Abdul Aziz bin Abdurrahman bin Ali bin Rabiah, Ilmu Maqashidus Syari, (Riyadh: 2002 M), hal, 33

[13] Hamzah Abu Faris, al-Madkhal ila Dirasati Ilmi Maqashidis Syari’atil Islamiyah, (Daaru Ibnu Hazm, Libya: 2012), hal: 16

[14] Ibid, hal: 17

[15] Ibid, hal: 21

[16] ibid

[17] Dr. Mas’ud Shabri, Bidayatul Qashid ila Ilmil Maqashid, (Naskah Khusus: 2017 M) hal. 83

TINGGALKAN KOMENTAR

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Arsip